Lagi-lagi gadis itu melirik jam yang melingkar di lengan kanannya. Ia menatap lurus ke depan, tersenyum optimis. Mungkin sudah sekitar setengah jam ia menunggu di bawah pohon itu, senyumnya kembali mengembang. Masih jelas diingatannya ketika siang itu, ditemani beberapa teman dan kakek penjual jus yang sekarang pun masih tetap berada ditempat yang sama dengan senyum yang sama dan pakaian yang sama.
“Sudah 3 bulan yang lalu yah!” ujarnya pada dirinya sendiri. Kakek itu menoleh ke arahnya dan tersenyum. Kakek itu cukup mengenalnya sebagai langganan.
“Neng Lisa? Sudah lama tidak kemari” Ia mendekat ke arah gadis tersebut.
“Iya nih kek, sekitar 3 bulanan yah saya enggak kesini” ujar gadis itu ramah dengan senyum yang mengembang.
“Benar hahaha…” tawa kakek itu pecah
“Kenapa kek?” Lisa bukannya heran tapi malah ikut tertawa walaupun ia tidak tahu mengapa.
“Saya teringat ketika kamu terakhir datang bersama teman-teman kamu”
“Memang apanya yang lucu kek?” Lisa heran tapi tawanya tak henti, bukan karena ia telah mengetahui hal yang dianggap si kakek lucu tapi ia semakin binggung.
“Itu siapa kekasih kamu? Itu yang waktu itu ingin menyatakan cinta kepada kamu. Hampir semua orang disini dibuatnya repot.”tawa kakek makin terdengar.
Beda dengan tawa dan senyum kakek yang semakin mengembang, tawa dan senyum Lisa pelan-pelan memudar. Dia mengingat kembali kejadian 3 bulan yang lalu, 3 bulan yang lalu ketika belum ada rasa sedalam ini, ketika pertemuan masih terasa janggal dan ketika perpisahan belum sepahit ini. 3 bulan yang lalu, ketika Bumi mendekati dirinya yang sibuk dengan jus alpokat kegemarannya. Waktu itu Bumi datang dengan senyuman getir dan tangan yang dipenuhi dengan jus alpokat mungkin sekitar 30 gelas di atas keranjang yang membentuk huruf I, L, U. Lisa yang dari tadi melihat pemandangan itu hanya tertawa lepas. Dalam hati ia mengejek Bumi yang begitu bodoh dengan merepotkan dirinya demi menyatakan cinta pada seorang gadis. Sebelum ia sempat menyapa Bumi, Bumi berjalan semakin dekat dan duduk di sampingnya. Tuhan yang tahu seberapa cepat Lisa menutup mulut dan seberapa cepat jantungnya bekerja saat itu.
“Neng tahu tidak, kekasih neng itu mungkin udah satu jaman disini, memaksa saya meminjamkan keranjang saya, beli gelas plastik, menyuruh saya membuatkan jus alpokat sebanyak-banyaknya, menelpon teman-temannya, dan yang lucunya lagi… hahaha… pulsanya itu habis dan ketika hampir jam 3 melihat neng tidak datang hampir saja ia membuang semua jus saya…” tawa kakek itu semakin terdengar kali ini sangat kencang seolah-olah hal itu benar-benar lucu.
“Kek, saya pergi dulu yaa. Bentar sajaa” kata Lisa sambil tersenyum. Diambilnya tas tangan yang sedari tadi berada setia di sampingnya. Tanpa memedulikan jawaban si kakek, Lisa terus berjalan.
***
***
“Haaa!” helaan nafas itu akhirnya terdengar juga. Lisa mengambil tissue sebanyak-banyaknya dan kembali membersihkan matanya dari air mata yang sedari tadi tak pernah henti. Ia benar-benar binggung saat ini, ia harus mengembalikan Bumi seperti 3 bulan yang lalu, ketika ia masih mencintai Lisa, masih mengharapkan Lisa, masih duduk menunggu Lisa, masih setia memberi kabar pada Lisa, masih menyapa Lisa ketika pagi, masih menghubungi Lisa meski sibuk, masih megucapkan selamat tidur pada Lisa, masih menunggu Lisa di kantin kampus meski kuliahnya telah lama usai, masih…
“Bumi, dimana?” Lisa terdiam kali ini ia benar-benar tak yakin untuk mengembalikan Bumi seperti 3 bulan yang lalu. Bagi Lisa, Bumi bukan hanya seorang yang special. Tapi Bumi adalah segala sesuatu yang dijadikannya kesukaannya. Bumi adalah selamat pagi yang disukai Lisa, matahari yang disukai Lisa, hari libur yang disukai Lisa, novel yang disukai Lisa, pelajaran yang disukai Lisa… sederhananya Bumi is her favorite everything.
Lisa mengambil smartphonenya. Dibukanya aplikasi blackberry massangernya, tidak cukup sulit untuk mencari nama itu, bukan karena awalan namanya yang merupakan huruf kedua pada abjad akan tetapi karena hanya ada satu nama itu di obrolan Lisa.
Bumi, kamuuu dimanaaaaa?
Lisa menarik nafas panjang setelah ia mengetik pesan itu.
Bumi is writing message
Lisa berhenti bernafas dan menunggu jawaban Bumi
Di jalan
Satu detik…dua detik… satu menit…dua menit
Lisa membuka mata dan hanya itu jawaban Bumi. Hanya itu. Mungkin pending atau mungkin dia sedang mengetiknya. Jawaban terpendek Bumi setelah “Yauda!”
Kembali air mata Lisa jatuh, kali ini ia ingin membatalkan semuanya semuanya. Rencana hari ini yang ia jadwalkan hanya beberapa menit. Hanya untuk membicarakan hubungan mereka, hanya untuk memastikan hubungan mereka, hanya untuk menanyakan perasaan Bumi kepadanya, hanya untuk menanyakan masih adakah cinta di antara mereka, masih perlukah hubungan ini, masih bolehkah ia mencintai Bumi. Dan kali ini tanpa bertanya lagi, lisa sudah tahu jawabannya.
***
***
Bumi duduk di bawah pohon itu, tempat yang dijanjikan Lisa. Ia mengatur nafasnya dengan normal, jantungnya yang sedari tadi berdebar kencang tidak bisa ia hentikan. Dalam hitungan menit ia akan bertemu dengan mantannya yang telah mencampakannya. Sangat menjatuhkannya. Dan semua rasa cintanya yang begitu besar kepada Lisa telah hilang. Akan tetapi, mengapa jantungnya berdetak sekencang ini, tidak pernah berubah ketika ia ingin menemui Lisa, menyapa Lisa, menelpon Lisa, tersenyum pada Lisa. Kali ini semakin kencang, karena gadis itu berada tepat di depannya. Tinggal berapa meter lagi, Lisa akan mencapai tempat duduknya.
Blackberrynya bergetar,
Aku lagi ga ada kerjaan, jadi kan entar sore?
Dari Ara, dengan cepat tangannya mengetik dan membalas pesan itu. Senyumnya mengembang dan memudar ketika menyadari Lisa berada di sebelahnya.
***
“Hi…” sapa Lisa dengan senyum tertahan.
Bumi tidak menjawab. Ia sibuk dengan Blackberrynya. Lisa kembali menahan air matanya, ia melihat satu nama di obrolan blackberry messenger Bumi, Ara. Ingin rasanya ia berbalik pulang meraih tempat tidurnya dan menangis sekencang-kencangnya. Belum sampai satu bulan ketika hubungan mereka tidak jelas, Bumi telah menemukan pengantinya. Sedangkan ia mati-matian ingin selalu bersama lelaki yang dengan leluasa melepasnya.
“Mau pesen apa kamu?” Tanya Lisa masih dengan nada ramah. Ia memutuskan hari ini akan berbuat sangat baik pada Bumi. Apapun yang terjadi.
Bumi tetap tidak menjawab, tangannya menari lincah pada balckberrynya.
“Bumi, I’m talking with you!”kata Lisa dengan nada yang lebih tinggi namun kemudian ia rendahkan kembali.
Bumi tak berkutik, dia tetap dengan blackberrynya. Lisa berdiri, Bumi sudah kelewatan. Sangat kelewatan. Diambilnya tasnya, ia menunggu respon dari Bumi apakah Bumi akan menahannya. Kurang lebih satu menit ia menunggu tapi tidak ada respon dari Bumi. Dia berjalan maju ke depan, matanya yang dipenuhi air mata sudah kabur untuk berjalan.
***
Bumi melihat lurus ke depan, Lisa sudah berjalan menjauh. Begitulah Lisa. Ketika ada masalah dengan Bumi ia akan menghindar. Dan Bumi akan mengejarnya, memohon-mohon, meminta maaf. Itu dulu ketika ia masih sebagai kekasihnya. Sekarang Bumi sudah letih mengejarnya, memohon-mohon, meminta maaf. Akan tetapi untuk situasi saat ini, masihkah Bumi perlu mengejarnya?
Bumi berdiri, berjalan dengan langkah besar untuk menyeimbangkan langkah Lisa.
“Ada yang perlu kita bicarakan lagi?”tanyanya singkat. Lisa menoleh kea rah Bumi. Bumi berhenti, dilihatnya mata itu penuh dengan air mata dan sembab. Dicernanya kembali kalimatnya ada yang perlu kita bicarakan lagi. Lisa menunduk dan berjalan cepat. Bumi tediam, begitu kejamnya dia.
“Maksud aku, kamu mau ngomong apa? Udah lama kan kita gak ngobrol” katanya kaku. Lisa diam dan berbalik. Tersenyum.
***
Lisa berjalan disamping Bumi. Ingin rasanya ia mengandeng tangan itu dengan manja seperti biasa. Akan tetapi Lisa menahan dirinya. Ia menahan rasa sedihnya, rasa marahnya, rasa sakitnya, rasa kecewanya, rasa rindunya, rasa cintanya. Ia juga membatalkan rencana menanyakan tentang hubungan mereka. Benar kata Bumi, mereka hanya butuh ‘ngobrol’. Tapi sudah sekitar 10 menit mereka berjalan, mereka hanya diam. Bumi sibuk dengan blackberrynya.
“Emm kamu udah makan siang? Kita ngobrolnya sambil makan siang aja mau?” Tanya Lisa dengan penuh antusias.
“Aku udah kenyang, lagian nanti aku juga mau…” Bumi diam.
“Mau apa? Jalan sama Ara?” Tanya Lisa waspada. Bumi tetap diam. Lisa mengambil nafas panjang. “Kalo kamu ga mau makan gak apa-apa kok. Tapi, kamu mau kan nemenin aku makan?”
Bumi hanya tersenyum datar. Datar. Tanpa Ekspresi. Lisa tertegun, ia merindukan kedahsyatan senyuman Bumi. Tanpa lesung pipi. Senyumnya pun juga tidak manis. Hanya menarik bibir dua sentimeter kea rah kiri. Lisa sangat hapal, dengan rahang kerasnya dan giginya yang rapi senyum Bumi sangat sempurna –bagi Lisa --. Tapi sekarang senyum itu tidak ada lagi, atau mungkin ada tapi bukan untuk Lisa lagi. Senyum yang menggemparkan dunia Lisa, senyum yang Lisa tunggu-tunggu. Senyum yang selalu Lisa inginkan selamanya.
“Eh tunggu sebentar ya, aku mau ke toko kaset dulu!” tanpa persetujuan Bumi, Lisa segera masuk ke salah satu toko kaset yang mereka lewati. Langkahnya cepat menuju sebuah pojok untuk DVD-DVD film western. Tanggan mungilnya mencoba menggapai sebuah kaset DVD yang sejak lama ia cari. Tapi matanya tertuju pada satu kaset DVD. Lisa segera mengambil kaset itu.
***
Bumi segera menyamakan langkah dengan Lisa yang berlari menuju toko kaset. Kesal melihat tingkah Lisa yang tidak berubah, Lisa yang selalu ingin menang sendiri dan tak peduli kehendak orang lain. Itulah salah satu alasan mengapa Bumi ingin melepasnya. Mata Bumi lincah mencari sosok itu, dan dia terdiam di ujung jalan saat melihat sosok itu membeli sebuah kaset DVD.
“Film itu kan…” Kali ini Bumi benar-benar kesal. Bukan begitu caranya, dia denngan susah payah menghapus semua kenangan tentang mereka. Tapi dengan melihat film itu, dia bisa mati kutu. Saat itu pertama mereka menonton berdua, saat itu Bumi benar-benar mencintai Lisa, saat Bumi benar-benar harus gila ketka menyadari ia harus menonton bersama bidadarinya, saat Bumi dengan tangan gemetar menggengam tangan Lisa. Tapi saat ini, Bumi bingung, kesal, dan marah.
“Kamu ingatkan film ini?” Tanya Lisa dengan senyuman lebar.
“Kalo kamu mau buat aku balik dengan kamu, bukan kayak gini caranya!” Bumi segera berbalik meninggalkan Lisa sendiri. “Atau ga bakal ada cara, karena aku ga bakal mau” Bumi terdiam binggung dengan ucapannya. Sebenci itu kah ia dengan Lisa? Berani bertaruh air mata Lisa sudah jatuh.
***
“Mau pesen apa mbak?”
“Jus Pokat satu”
“Kamu ga makan?” Tanya Bumi dingin. Bagaimana ia bisa makan, ketika kata-kata itu terucap dari Bumi. Lelaki yang selalu ia inginkan. Lelaki itu seperti menghempaskannya, membunuhnya secara perlahan, dan menghujamkan pisau telak menuju jantungnya.
Lisa hanya menggeleng. Berat sekali rasanya, tapi ia sudah memilih ia sudah memutuskan dan ia harus berani menyelesaikannya.
“Kita perlu bicara” ucap Lisa pelan. Bumi membuang muka, sialan… tapi memang itulah yang ingin disampaikannya. Dia sadar sekarang, mereka tidak perlu ‘ngobrol’ mereka butuh bicara.
“Atau paling tidak, kamu mendengarkan aku bicara.” Pelayan memberikan segelas penuh Jus alpokat. Bila dalam keadaan normal, jus itu akan habis dalam sekejap.
“Saya masih menyayangi anda. Jauh di lubuk hati saya masih mengharapkan anda. Saya butuh kejelasan hubungan kita. Saya tidak ingin melihat anda dengan wanita lain, dengan siapa pun itu bahkan dengan gadis tercantik di kampus pun. Saya tidak ingin menjadi teman anda, saya ingin selalu menjadi kekasih anda. “ Mati-matian Lisa menahan airmatanya. Bumi tetap diam. Lisa mengambil nafas, dia butuh udara yang lebih.
“Saya tidak tahu apa perasaan anda kepada saya saat ini, dan saya yakin anda tidak ingin memberi tahunya. Yang saya tahu, anda dulu menyayangi saya, tulus. Tidak ada yang disembunyikan dan tidak ada yang dipermainkan. Dan yang saya tahu sekarang anda benar-benar ingin melepas saya, ikhlas. Tidak ada paksaan dan tidak ada dorongan. Itulah yang membuat saya jatuh hati pada anda.”
***
Bumi menatap Lisa, matanya penuh dengan air. Biasanya tangannya sudah siaga menghapus air itu. Tapi tidak ada pilihan lain,
“Jatuh hati pada anda bukanlah pilihan saya tapi takdir saya. Dan bila melepas anda juga bukan pilihan saya, malah takdir saya. Saya ikhlas asalkan anda menemani saya menghabiskan minuman ini dan mengulang kejadian saat anda menyatakan cinta pada saya?”
Bumi diam, dadanya dipenuhi sejuta rasa. Sedih, kesal, sesal, sesak, bahagia, haru, hancur, biru,…
Dia tidak perlu menjawab pertanyaan itu, dia hanya menunduk. Terbayang alasanmereka berpisah, saat itu Bumi tidak mengkontak Lisa. Ia hanya ingin melihat respon Lisa tpai yang ia dapatkan hanya kekecewaan dan penyesalan. Ia merasa bertepuk sebelah tangan selama ini. Lisa sama sekali tidak mencarinya dan Lisa tidak mengkhawatirkannya. Ketika ia datang, Lisa cuek dan hanya memandang ia jijik. Seolah Bumi adalah makhluk yang tidak berharga lagi. Saat itu juga Lisa datang menghampirinya dan berkata “Bila selama ini aku ganggu kamu, sampe kamu ga sempet ngehubungin aku. Aku ga bakal ganggu kamu lagi” Mulai saat itu, Bumi jatuh, terhempas, dan terbanting. Hatinya retak, patah, dan tak tersisa. Lisa seolah wanita biadab yang telah mengambil segala kebahagiaanya. Bumi tidak pernah melihat ke arahnya lagi, menghubunginya lagi dan apabila ada teman yang menanyakan tentang hubungan mereka, bumi selalu berkata: “sudah berakhir”.
***
***
“Jus aku udah abis” Lisa tersenyum sangat lepas “Makasih ya udah nemenin aku, untuk permintaan kedua kalo kamu ga bisa gak apa-apa kok. Maaf ya udah ngerepotin kamu” Lisa berdiri dan segera berlari ke kamar mandi.
Lisa menatap lemah dirinya. Lisa yang bodoh! Bahkan Bumi sama sekali tidak merespon perkataannya apalagi permintaannya. Ia takut. Ia takut, ia harus benar-benar melepas Bumi. Saat Bumi menghilang sebelum mereka berakhir. Lisa sperti mayat hidup yang ditugaskan sebagai intel. Ia mencari ke berbagai sumber tentang keberadaan Bumi, menanyakan keadaan Bumi melalui adiknya, binggung setiap detik, dan tidak ada semangat dalam melangkah. Ia takut. Sangat takut. Dan ketika Bumi kembali, hanya dua rasa yang ada. Senang dan kesal. Tapi rasa yang ia tunjukan hanyalah kesal. Bumi datang dan berkata : “Apa kamu kangen dengan saya?” saat itu Lisa ingin sekali membunuh Bumi. Akan tetapi bila itu terjadi sekarang, ia ingin memeluk Bumi dan tidak melepasnya. Sama sekali.
Dan sekarang Lisa harus rela melepaskan Buminya.
Ia tidak tahu harus melakukan apa. Bila hari ini memang hari terakhir untuk dirinya dan Bumi, ia akan membuat hari ini tampak sempurna sangat sempurna. Bahkan bila ia harus mempermalukan dirinya sendiri, atau menurunkan harga dirinya. Karena baginya, Bumi adalah segalanya dan selamanya. Bila selamanya tak mungkin baginya, mungkin segalanya masih ada.
***
***
Bumi tak berhenti menunduk. Perasaan ini lebih dari dicampakan. Ia merasa sangat hina. Ia merasa sangat salah telah mengambil keputusan secepat mungkin demi sebuah harga diri yang ternyata hanya semu.
Sandiwarakah selama ini setelah sekian lama kita telah bersama
Ini kah akhir cerita kita yang selalu aku banggakan di depan mereka
Bumi tertegun perlahan ia mencari sumber suara itu. Suara itu, lembut, natural dan…itu suara bidadarinya. Selama bidadari itu menjadi miliknya, tak pernah ia mendengar keindahan suara itu. Benar kata teman-temannya, suara itu… suara itu. Bahkan ia tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikannya. Mengapa tidak ketika bidadari itu menjadi miliknya ia mendengar suara itu? Tapi bukankah Lisa masih milik Bumi sekarang. Bukankah tidak ada kata putus yang sebenarnya di antara mereka.
Kini haruslah kulewati
Sepi hariku tanpa dirimu lagi
Haruskah kini ku berdiri melawan waktu
Tuk melupakanmu…
Lisa seperti memberikan jawaban. Lisa bukan miliknya lagi, dan Lisa sedang berusaha melupakannya. Bumi tak kuat, Bumi tidak yakin ia bisa tanpa Lisa. Lisa yang selalu ada untuknya, Lisa yang selalu menjadi mood busthernya, Lisa yang menjadi perantara perbaikan hubungannya dengan sahabat karibnya, Lisa yang membawakannya minuman ketika ia selesai berlatih, Lisa yang mengkhawatirkannya…Lisa yang mencampakannya, Lisa yang egois, Lisa yang tidak peka, Lisa…
Berjuta emosi berkecambuk di dalam hatinya, dan air mata itu mulai protes keluar. Ditatapnya Lisa yang masih bernyanyi dengan merdu. Ketika Lisa balas menatapnya, ia membuang muka dan bergegas meninggalkan tempat duduknya.
***
Bahkan ia tidak mau mendengarkan Lisa bernyanyi. Lagu untuknya mungkin lagu terakhir dari Lisa untuknya.
“Udah selesai?” Tanya Bumi tanpa ekspresi.
Lisa hanya mengangguk. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan lagi.
“Well, aku pulang dulu ya!”
“Permintaan terakhir kamu?” Tanya Bumi heran. Permintaan terakhir? Tidak akan terjadi bila Bumi tidak ikhlas melakukannya. “Aku ga bilang loh aku ga mau ngikutin permintaan terakhir kamu” ucap Bumi sambil tersenyum. Dua sentimeter. Ke kiri.
Tidak, Lisa pasti bermimpi. Bermimpi. Mungkin ia hanya sedang melankolis. Tapi tidak untuk satu ini, saat Bumi menarik tangannya. Setengah berlari Bumi membawanya ke tempat jualan jus, ke tempat Bumi menyatakan cinta, ke tempat penuh harapan, dan…
***
***
Bumi diam, dia duduk di sebelah Lisa. Dulu tempat itu, Lisa yang duduki ketika ia menyatakan cinta. Jantungnya tak berhenti berdetak. Lisa yang bingung tak tahu harus melakukan apa.
“Kek, Jus pokatnya satu yah” ucap Lisa datar.
Setelah Jus pokat berada di tangan Lisa. Lisa diam, bingung ingin melakukan apa. Lisa melirik jamnya. 03.00. Lima menit lagi seharusnya ia yang memulai.
“Well, Bumi Nartanegara…” ucap Lisa cepat, Bumi menempelkan telunjuknya di bibir Lisa.
“Kamu duduk ya, biar aku aja yang ngulang semuanya. “ Lisa dibimbing Bumi duduk di tempatnya tadi. Dan saat Lisa duduk semuanya tampak déjà vu. Bumi, Kakek, Jus Pokat, tempat jus, tanggal 3, pukul 3 sore, semuanya…
“Maaf ya Jusnya Cuma satu” Bumi menghela nafas panjang “Well… “
“Kalo kamu ga bisa ga apa-apa kok. Pasti udah beda rasanya.” Lisa berdiri dan bergegas pergi. Bumi diam. Menunduk. Deretan kalimat itu sangat ia hafal, di luar kepala ia butuh waktu sebulan ketika menyusun kalimat itu. Dan mengucapkannya…
Saat itu kedua smartphone mereka berbunyi.
Alarm,
pukul 03:05 pm
pukul 03:05 pm
03 Agustus 2011
SELAMAT BULAN KE TIGA BUMI & LISA
Keduanya tertegun, diam. Bumi ingat saat itu Lisa yang mengatur aplikasi ini di kedua smartphone mereka dengan nada yang sama dan waktu yang sama dan keterangan yang sama. Saat itu juga, Bumi berkata…
“Well, Lisa Alianarta maukah anda menjadi pasangan, teman berbagi, menerima cinta, dan akhirnya selalu bersama dalam keadaan apapun dengan saya Bumi Negarakarta?”
Lisa terdiam apabila dalam keadaan normal ia sudah memeluk Bumi, tapi…
“Jawab dong, katanya mau ngulangin”
“Untuk alasan apa saya menerima anda?”
“Karena saya…” Bumi diam.
***
***
“Kak Bumi, rupanya disini aku udah lama nunggunya” Gadis cantik itu datang, dengan rambut yang halus, wajah yang mulus, dan senyum yang mengembang.
“Ok, thank you ya buat hari ini. Have fun ya, emm Bum. Duluan, Ra!” Lisa tersenyum. Saat berbalik, Lisa berjalan cepat secepat mungkin. Saat itu hatinya hancur benar-benar hancur. Saat itu dunia serasa terbalik, saat itu semua mata seolah menatapnya. Saat itu ia tersadar, seharusnya ia tidak terlalu berharap. Seharusnya ia tidak pernah jatuh cinta pada Bumi. Seharusnya,…Ia tidak tau lagi harus bagaimana lagi seharusnya itu.
***
***
“Ok, thank you ya buat hari ini. Have fun ya, emm Bum. Duluan, Ra!” Lisa tersenyum. Saat berbalik, Lisa berjalan cepat secepat mungkin. Saat itu ia terduduk lesu, dunia bagaimana runtuh seketika. Mata indah wanita di sampingnya menatap heran. Saat ini, ia tidak bisa berkata-kata. Ia tidak bisa berpikir normal. Seharusnya ia tidak menyia-nyiakan Lisa, seharusnya tadi dia langsung saja berkata bahwa dia masih mencintai Lisa. Seharusnya mereka merayakan 3 Bulan mereka. Seharusnya,… Ia tidak tau lagi harus bagaimana lagi seharusnya itu.
“Jadi kita mau kemana kak hari ini?” Tanya Ara
“Kita duduk di sini aja dulu ya, aku mau pesen Jus Pokat. Kamu mau pesen apa?” Bumi pun bingung apa yang ia lakukan sekarang. Tapi ketika ia melihat wanita ini, ia melihat masa depannya. Secepat itukah? Entahlah, bukankah hidup punya dua pilihan. Begitu juga masa depannya di tangan wanita ini.

