Ini cerita tentang Bio-Arpa.
Bila kalian masih ingat, kalian pasti mengeluh.
Bila kalian sudah letih, sebenarnya penulis lebih letih.
Tapi mau apa lagi…
Ini hanya cerita Bio-Arpa, yang dahulu dikembalikan pada
pembaca.
Kemarin penulis bertemu Bio, matanya sembab.
Lusa kemarin penulis bertemu Arpa, entahlah dia hanya bilang
“Sulit untuk dilanjutkan”
**
Ini bukan akhir tahun
Di Bulan Ketiga setelah awal tahun,
“Arpa…”
Bio tidak lagi memanggil ‘abang’
Dan Arpa tidak lagi memanggilnya Ola, menurutnya Ola terlalu
manis untuk sosok istrinya.
“Apalagi sih?” Arpa seperti biasa datang dengan muka tidak
senang
“Saya udah cantik belom?”
“Sudah 1 jam kau berdandan, kau masih sama saja” berbalik
badan dan meninggalkan Bio.
**
Ini juga bukan cerita akhir tahun
Kita berada pada awal tahun
Arpa bukan kasar, dia hanya jujur. Arpa bukannya berniat
menyakitkan hati Bio, dia hanya mau Bio tau sebenarnya.
Berkelahi jangan ditanya seberapa seringnya. Sampai Bio tak
pernah ada senyumnya, dan Arpa tak pernah tidak pusing.
Bio bukannya cenggeng, dia hanya melampiaskan rasa
kecewanya. Bio bukannya berlebihan, dia hanya tidak tau harus bagaimana.
Arpa juga tidak tau harus bagaimana.
**
Berjalan hari, semakin lama, semakin berbeda.
Mereka memberanikan untuk berjalan pada hal yang lain.
“Saya tidak bisa berhenti tertawa, saya takut nanti malam
menangis” Arpa masih menahan gelak tawa.
“Saya sih semalam sudah menangis” Bio juga ikut tertawa.
Mereka sibuk tertawa.
Ah mereka, bila bahagia dunia bagai milik mereka, bila
bersedih menginjak dunia pun rasanya enggan.
**
“Hai kekasih, udah lama ya nunggunya?” akhirnya Bio masuk
mobil mereka.
Arpa hanya diam.
Bio bersandar pada kursinya. Ah Arpa bukannya saya sengaja
lama membuatmu menunggu. Hanya saya perlu kembali berhias karena ya lagi..lagi
saya menangis ya lagi..lagi karena kau.
“Kenapa? Menangis lagi tadi?”
Diam
“Hei”
Diam
“Yauda kita ga usah pergi” langsung memutar stirnya
“Iya”
**
“Kenapa Bio nangis semalem?”
Bio berhenti tertawa.
Arpa tersenyum. Manis, bukan sinis.
“Kenapa Bio nangis semalem?”
Menoleh ke arah Bio yang salah tingkah. Ah rasanya sudah
lama Bio tak melihat senyum Arpa. Meski mereka tinggal bertahun-tahun bersama.
Tapi mereka lebih sering berkelahi daripada tersenyum.
**
Masih berada di awal tahun. Jangankan panggilan sayang,
dipanggil nama saja sudah cukup.
“Lain kali kalo mau pergi bilang!”
“Buat apa?” Arpa setengah menoleh ke Bio
“Biar saya bisa kunci pintu”
“Buat apa. Kita kan sudah punya masing-masing kunci”
“Bukan begitu..”
“Apalagi?”
Bio hanya diam. Awalnya dia sadar Arpa bukanlah tipenya.
Awalnya Bio sadar bagaimana agar Arpa menjadi lebih hangat. Ia tidak perlu
menjadi api-api. Arpa sudah sering terbakar emosi, yang perlu dia lakukan
adalah lebih dingin agar Arpa kembali ke suhu awal.
**
Akhir-akhir ini
pasanganku semakin berubah
Bio kembali membaca update-annya beberapa jam yang lalu, dan
tersenyum melihat respon semangat dari teman-temannya.
“Lagi apa?” Arpa datang tepat di samping Bio.
“Tidak sedang apa-apa” Bio segera menekan tombol lock di
handphonenya.
**
“Kalo kau memang tidak ingin pergi dari awal bilang, saya
tidak perlu menunggu selama ini!”
Arpa keluar dari mobil, membanting pintu mobil. Dan dari
mobil Bio bisa mendengar suara bantingan pintu rumah.
Seperti mendengar petir.
Bukan karena bantingan pintu kamar. Apalagi bantingan pintu
mobil.
Tapi teriakan Arpa tadi.
Arpa memang sinis, memang pedas sekali jika berbicara. Tapi
tidak pernah berteriak pada Bio. Pertama sekali selama bertahun mereka menjalin
hubungan, Arpa berteriak pada Bio.
**
Bukan cerita akhir tahun tapi masih tentang Bio-Arpa.
“Bio?”
Bio hanya menoleh pelan ke arah Arpa.
“Umur berapa kau sekarang?”
“Masak kau tak tahu”
“Berapa?” tegas Arpa lagi
“27 tahun”
“Kau tidak terlalu muda untuk update di media social: Akhir-akhir ini pasanganku semakin berubah”
Bio terbelak. Sejak kapan Arpa punya media social.
**
Penulis memang jauh lebih muda dari Bio-Arpa.
Herannya Bio selalu datang dan mengeluhkan tentang Arpa
padanya. Saat ini dihadapan penulis ada
Bio. Seperti biasa sedang menangis.
Bila Bio menangis tidak bersuara, tapi siapa pun yang
melihatnya akan tahu dia sangat sakit hati.
**
Bila Bio menangis tidak bersuara, tapi siapa pun yang
melihatnya akan tahu dia sangat sakit hati.
Ini cerita di Bulan ketiga setelah awal tahun.
Baru kali ini Arpa melihat Bio sesakit hati itu.
Arpa pergi melihatnya ke garasi, Bio masih di mobil. Matanya
menatap ke depan dengan air mata yang mengalir deras. Tidak ada ekspresi apa
pun. Hanya air mata, tapi bukan kah itu lebih menyakitkan?
Ah Bio, andai saya cukup tidak egois untuk memelukmu saat
ini.
Ah Bio, andai saya tidak berteriak padamu tadi.
Ah Bio, andai kau tidak berbohong dengan saya. Pasti kita
sudah merayakan 5 tahun kita bersama.
Ah Bio, andai kau tidak saya nikahi. Mungkin air mata itu
tidak pernah ada.
**
“Kadang-kadang saya berpikir bila saya tidak menikahimu
mungkin airmatamu tidak terlalu banyak keluar?”
“Ya mungkin. Tapi tidak mungkin juga tawa saya selepas ini”
Saat itu Bio memeluk Arpa, pelukan setelah sekian lama.
Pelukan pertama dari Bio. Pelukan pertama setelah Arpa berteriak padanya.
Pelukan pertama setelah dia berbohong pada Arpa.
**
Penulis melihat Bio.
Saat itu masih keadaan yang sama, menangis. Penulis masih
berada di belakang note booknya. Dan Bio masih berada di belakang kesedihannya.
“Apa salahnya dengan berbagi?” Penulis mengernyitkan dahinya
ketika kalimat pertama keluar dari Bio.
Ya hari ini adalah kemarin sebelum penulis memutuskan untuk
kembali menulis kisah mereka. Awalnya penulis sangat letih untuk melanjutkan,
tapi setelah mendengar pertanyaan Bio. Penulis tahu kemana kisah ini akan
mengalir.
**
Lusa sebelum hari itu,
Penulis bertemu Arpa. Seperti biasa Arpa terlalu suram untuk
diajak berbicara. Arpa hanya diam dan menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Dia sering mengecewakan saya, tapi tidak dengan berbohong.
Seharusnya dia tahu saya selalu jujur sepahit apapun itu”
Entah kebohongan apa yang dibicarakan Arpa. Penulis masih
diam. Masih belum tertarik dengan kisah mereka.
“Bukannya Bio melarangmu merokok?”
“Ya, dia selalu melarangku ini itu. Terlalu cerewet.”
“Lantas sekarang?”
“Dia tidak tahu”
“Bukannya itu juga kebohongan” Arpa melihat penulis tajam.
Membuang rokoknya dan meninggalkan penulis. Ya, hanya itu cara mengusir Arpa
secara halus dengan menyakiti hatinya.
**
Penulis menatap Bio.
“Bila kau ingin meninggalkan Arpa, cara mengusirnya secara
halus hanya satu dengan menyakiti hatinya”
Bio menggeleng keres. Kali ini tangisnya bersuara sambil
mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ternyata bila tangis Bio bersuara, bukan
hanya semua orang tahu bila ia sedang sakit hati. Tapi hati pendengar juga ikut
tersayat.
Memang benar hal yang paling menyakitkan adalah ketika kita
tidak tahu harus berbagi rasa bahagia dengan siapa.
**
Ini bukan cerita akhir tahun, tepatnya di awal tahun.
Tapi Bio tidak bisa tidak menjadi api, jika Arpa selalu
menyulutnya.
“Apa yang kau tutupi?” Arpa tidak pernah berbuat kasar pada
Bio. Pembaca mungkin merasa Arpa adalah sosok yang sangat kasar, tapi tidak
dengan fisik.
Bio berusaha menutupi apa yang sedang ia lakukan dengan
segera tutup laptopnya.
“Hei, kau dengar tidak bila keluar rumah bilang dahulu!” Bio
merasa salah tingkah, ia segera memunggungi Arpa.
“Hei, kau dengar tidak. Apa yang kau tutupi?”
Sekali lagi Arpa tidak pernah berbuat kasar. Kalimat itu
sangat lembut ia ucapkan, tidak dengan tatapan membunuh. Lembut sekali tepat di
telinga Bio.
Ya, perlu ditekankan sekali lagi Arpa tidak pernah berbuat
kasar, hanya Bio yang terlalu lemah. Tangan Arpa segera membuka laptop yang
setengah tertutup itu.
**
Hari itu di bulan ketiga dari awal tahun.
Hari itu esoknya anniversary ke lima Bio Arpa.
Hari itu Arpa pulang lebih cepat dari biasanya.
Hari itu Arpa di depan laptop Bio berusaha keras mencari
tahu apa yang disukai Bio.
Hari itu entah setan apa yang merasuki Arpa, ia ingin
berusaha romantis di hari jadinya besok.
Tepat setelah Arpa membuka media social Bio, saat itu juga
ada notifikasi dari salah satu teman Bio atas update-an Bio.
Tepat setelah Arpa tertawa saat melihat apa yang Bio update:
Akhir-akhir ini pasanganku semakin
berubah
Tepat setelah itu Arpa berbisik pelan “Biola-ku besok kau
akan mengetahui Harpa yang sesungguhnya” dan segera membooking restaurant dan
memesan beberapa kado untuk besok.
Tepat setelah itu email bersubject “Apa Salahnya dengan
Berbagi?” masuk pada inbox Bio.
Tepat setelah itu Arpa menyesali apa yang dilakukannya saat
ini untuk Biola-nya yang selalu mengecewakannya.
**
Penulis menunduk pasrah.
“Kenapa harus ‘Apa Salahnya dengan Berbagi?’ kau tetap release?”
Entahlah siapa yang salah Bio yang terlalu pembangkang atau
Arpa yang terlalu penuntut. Atau mereka berdua yang terlalu…
“Egois. Kalian berdua sama-sama egois”
**
“Egois. Kalian berdua sama-sama egois”
“Jadi kau menyuruhku ke sini hanya untuk berkata seperti
itu? Kau menghabiskan waktuku, istriku pergi entah kemana sekarang. Aku kira
kau menemukannya, ternyata hanya mengatakan hal yang tak berguna”
“Untuk apa mengkhawatirkan istri yang selalu
mengecewakanmu?” Pandangan mata penulis beralih dari notebooknya ke mata Arpa
yang kalut.
**
“Pasti kau bingung mengapa saya tahu update-anmu di media
social”
Bio merasakan aura yang semakin mencekam. Suara Arpa mulai
memelan.
“Saya tahu semua tentang kau, Bio.” Arpa berjalan menuju box
Bio. Bio menutup mulutnya, dia tidak menyangka Arpa tahu lebih cepat dan diluar
dugaannya.
“Termasuk dengan ini” Arpa melemparkan buku berjudul ‘Apa
Salahnya dengan Berbagi?’
“Kau tidak perlu merelease buku ini hanya untuk mendapatkan
jawaban dari judulnya. Kau hanya perlu datang kepadaku dan tidak perlu berpikir
panjang…jawabanku adalah salah”
Arpa keluar dari kamar.
Malam itu Arpa tidak pernah masuk ke kamar lagi.
Malam itu Bio menangis kaku di ujung tempat tidur.
Hingga besok paginya Arpa datang, mencium pipinya dan berkata
“Happy Anniversary”
**
“Saya sudah bilang berkali-kali, kisah kita tidak untuk
konsumsi publik”
Arpa menutup kembali laptop Bio. Dia tertunduk pasrah.
“Saya mendukung pekerjaanmu sebagai penulis, tapi jangan
tentang kisah kita.”
“Ini tidak akan saya release. Percayalah. Saya hanya ingin
menulis sebagai kenang-kenangan”
Tapi itu yang saya
lebih tidak suka, seolah saya akan segera menjadi kenangan untukmu. Bukan
kalimat itu yang terucap dari Arpa melainkan hanya satu kata: “Janji?”
Bio membalasnya dengan anggukan pasti.
Dan janji itu lah, penjamin Arpa di setiap harinya bahwa Bio
tidak akan menjadikannya sebagai kenangan.
**
Penulis membaca ‘Apa Salahnya dengan Berbagi?’ sekilas. Yah,
bila ia menjadi Bio pertanyaan yang sama akan terpikir ‘Apa Salahnya dengan
Berbagi?’ jika ia memiliki suami seperti yang diceritakan Bio pada bukunya.
Entahlah, buku ini hanya fiksi belaka atau memang ternyata
Arpa seperti ini.
Digambarkan Arpa yang memang cuek dan sinis, tapi disetiap
cerita selalu ada cinta yang mengudara di antara mereka. Ya, tapi memang itulah
cinta. Berani menerima masa lalu dan memaafkan kesalahan setiap saat untuk
bersatu. Cinta dan bodoh berada pada tempat yang punya proporsi sama dan
dibatasi dengan seutas rambut. Jika rambut itu putus, cinta dan bodoh bercampur
menjadi satu rasa. Rasa yang melibatkan otak dan hati lebih dalam. Rasa yang
membuat logika mendukung perasaan. Ya rasa benci.
Penulis membuka lembar terakhir buku itu.
Dan penulis segera menekan nomor handphone Arpa, ia tahu
tugasnya sekarang adalah menjaga agar seutas rambut itu tidak putus.
**
Arpa berlari mencapai pintu rumahnya. Jika lelaki normal
pada umumnya akan merangkak ke arah istrinya untuk meminta maaf. Tapi badan
Arpa terlalu kaku untuk melakukannya.
Arpa menemukan Bio sedang menonton televisi di rumah mereka.
Ternyata setelah lima tahun pernikahan mereka, ia masih
tidak tahu apa-apa tentang Bio.
Bio tersenyum melihatnya “Maaf ya tadi saya keluar tanpa
memberitahu”
Begitulah mereka, berkelahi setiap saat dan diselesaikan
dangan menganggap itu tidak pernah terjadi. Mungkin itu salah satu cara mereka
bertahan.
Arpa duduk di sebelah Bio.
“Ajarin pakai social media dong” Bio melirik Arpa sekilas
dan terkikih pelan.
**
“Apa alasan kau tidak suka dengan releasenya buku ini?”
“Banyak” Jawab Arpa cepat
“Saya berikan beberapa alasan dan kau hanya perlu mengangguk
apakah itu alasan kau juga”
Arpa semakin kesal dengan penulis.
“Pertama, kau tidak suka cerita kau menjadi konsumsi public”
“Benar itu alasan utama”
“Kau hanya perlu mengangguk. Kedua, Kau tidak mau disamakan
dengan tokoh fiksi Bio lainnya”
Arpa bingung. Mungkin itu sebenarnya alasan utama. Arpa
mengangguk pelan.
“Jika kau setuju dengan alasan kedua maka benar kata saya
tadi, kalian sama-sama egois. Ingin selalu memiliki dan mengikat satu sama lain
tapi tidak mengupayakan mengikuti keinginan masing-masing pasangan”
“Arpa, kedua alasan tersebut terjawab dengan alasan Bio
membuat buku ini”
“Sudah kuduga, kau selalu berada dipihak Bio.”
“Bukan begitu baca dulu bukunya”
“Kau tahu kan saya tak suka baca”
“Ya, hampir keseluruhan buku ini berisi konflik kalian yang
diawali dengan emosi kekanakan kalian dan diakhiri dengan kedewasaan cinta
kalian. Semua pembaca akan terlarut dan menginginkan suami sepertimu.”
Arpa terperanjat “Jadi buku ini bukan daftar kejelekanku?”
“Sudah saya bilang baca dulu, paling tidak baca halaman
terakhirnya”
**
“Ya mungkin. Tapi tidak mungkin juga tawa saya selepas ini”
Malam itu mereka kembali seperti biasa, lima tahun
pernikahan mereka dirayakan di atas sebuah sofa dengan penuh tawa dan tentunya
perkelahian kecil. Bukan Biola dan Harpa jika tidak ada perkelahian.
Pembaca jangan berharap ada adegan mesra di sana. Mereka
sibuk berdebat, mulai dari warna, tata letak, tempat tidur yang dipilih, jenis
dekorasi yang dipilih untuk kamar calon anak mereka.
“Saya mulai capek kau selalu membaut saya kesal” Akhir
perdebatan mereka, Bio pergi meninggalkan Arpa menuju ke kamar mereka.
Arpa berlari dengan membawa ‘Apa Salahnya dengan Berbagi?’
Seraya berteriak, Arpa membacakan halaman terakhir di buku
itu.
“Untuk Suamiku, Harpa.
Terlalu sulit untuk membuatmu menjadi tokoh fiksi, karena
seindah apapun kata yang kurangkai, kau tetap lebih indah…”
“Harpaaa!!!”Teriak Bio sambil mengejar Arpa. Arpa sambil
berlari terus membacakan halaman buku itu.
“Buku ini untuk lima tahun kita dan untuk calon anak pertama
kita” Kalimat terakhir diteriakan Arpa, saat itu dia tidak bisa lagi
melanjutkan bacaanya karena Bio sudah siap untuk melumpuhkannya dengan
gelitikan maut Bio.
**
Baru kali ini penulis merasa lega ketika menulis kisah ini.
Entahlah apakah Arpa bisa lebih lembut atau apakah Bio bisa
lebih dewasa nantinya?
Tidak ada yang tahu pastinya.
Tapi yang bisa penulis pastikan, mereka akan terus bersama.
**
Cerita ini telah tertunda dua tahun lamanya, walau kemampuan
menulis sudah mulai menurun. Tidak ada yang salah dengan memulai kembali.
Cerita ini bukan untuk seseorang, untuk diri saya sendiri.
Saya butuh waktu untuk kembali ke dunia saya, dan waktu inilah saya kembali.