Hari ini segala kegiatan terhenti. Bukan
karena sudah letih, demi menyambut bulan ketenangan hati.Aku bukannya tidak menyukai apalagi tidak menyukuri, aku mencintai Bulan Ramadhan ini tapi untuk kali ini aku tidak ingin menyambutnya. Membayangkannya saja aku tidak sanggup apalagi menjalaninya.
Hari ini aku marah. Semarah-marahnya.Kepada dua pihak, pemerintah dan Tuhan. Mengapa mereka meliburkan hari ini? Bisakah aku diberi aktivitas menumpuk agar aku lupa bahwa besok itu hari menyenangkan? Mengapa Ia datangkan hari esok begitu cepat? Tidak, maksudku mengapa tidak aku diberi kesempatan untuk menyambut hari esok? Atau setidaknya kembalikan kebahagiaanku seperti beberapa tahun yang lalu untuk menyambutnya saja? Karena sebenarnya yang menyakitkan itu, bukan tidak menemukan orang berbagi di kala sedih tapi tak ada orang berbagi di kala bahagia.
Aku mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu, saat semua Ramadhan tampak begitu indah. Saat aku masih bisa merenggek manja minta dibangunkan sahur olehnya, mengeluh genit ketika aku merasa haus, memaksanya menjemputku pulang, memintanya menyediakan buka puasa keinginanku, merayunya untuk tidak Tarawih demi waktu kualitas bersamaku… Oh, Tuhan mengingatnya saja aku tak sanggup apalagi menjalani tanpanya.
Berpisah dengannya, sangat sulit aku bayangkan. Tapi itu yang terjadi. Teman-temanku berkata ikhlaskanlah. Kalian tidak tahu betapa aku mencintainya. Orang tuaku menyuruhku tetap terus menjalani hidup seperti biasa. Beliau tidak mengerti betapa kelam hidupku tanpanya. Saudara-saudaraku memintaku untuk kembali bersemangat seperti dulu. Kalian tidak pernah hidup dalam bayang-bayang penyesalan dan kerinduan mencekam setiap harinya.
Aku melakukan apa yang dikatakan temanku,suruhan suruhan orang tuaku, dan permintaan saudara-saudaraku. Tapi ketika Bulan Suci ini datang, semua pertahanku runtuh.
Aktivitasku tak mampu lagi melupakan kebutuhanku kepadanya. Bahkan kantukku tak
terasa lagi ketika aku mengingatnya. Dan aku tidak tahu harus melakukan apa
sekarang.
Kuambil fotonya dari dompetku, kupandangi ia… foto ini diambil ketika ia sedang menyetir mobil. Saat itu, macet tak terkendali. Ia panik bahkan sangat panik. Mobil kami berada di tanjakan dan ia tidak menjamin bahwa ia mampu mengatasinya. Sedangkan aku saat itu sibuk dengan hpku. Dia yang melihatku begitu santai, malah berteriak-teriak emosi. Lalu… lalu… aku lupa. Aku lupa benar-benar lupa. Bahkan bila tidak melihat foto ini, aku sudah lupa wajahnya. Jangan tanyakan bagaimana suaranya, sejak lama aku lupa. Yang akuingat hanya dia sangat berarti bagi diriku.
Kata orang, bila kita tidak mengingat muka orang terdekat kita. Itu berarti kita sangat-sangat menyayanginya dan tidak dapat berpisah dengan orang itu. Dan ini merupakan alasan yang entahlah yang ke berapa… aku membenci Tuhan! Bila Kau tahu aku tidak bisa lepas darinya mengapa Kau pisahkan kami? Katanya Kau mencintai hambamu.
Suara Adzan, Adzan Ashar mungkin. Aku menghempaskan foto itu, aku menghempaskan kakiku, aku menghempaskan pintu kamarku. Aku pergi. Aku ingin pergi. Aku ingin… entahlah aku ingin apa. Aku hanya ingin bertemunya.
Sudah cukup lama kami tidak bertemu, kurang dari satu tahun. Aku ingin bertemunya, aku ingin menceritakan hidupku yang sangat sangat berat tanpanya… ya tak mungkin. Aku ingin bertemunya, paling tidak mengucapkan selamat hari puasa kepadanya, atau mohon maaf lahir dan batin padanya, atau… mungkin terlalu berat. Aku ingin bertemunya. Hanya bertemunya. Tuhan, Kau tahu kan aku ingin bertemunya?
Langkahku aku arahkan ke tempat ia biasa berada, mungkin ia sedang ada di sana. Sudah lama aku tidak memberanikan diri ke sana. Taman komplek rumahku, tempat ia sering menghabiskan sorenya di sana. Dan aku selalu melarangnya, lebih baik di rumahku saja daripada duduk sendiri di sini. Kadang-kadang aku juga sering menemaninya disini. Di sini. Ya tepat tempat aku berdiri, di sini. Aku menoleh sekitar mungkin dia ada di sekitar sini, tapi taman ini penuh dengan orang-orang yang berjualan. Aku mendatangi semua tempat jualan itu, mencarinya. Mungkin ia ada di salah satu tempat jualan itu. Beberapa orang yang aku temui menegurku, dan aku membalas dengan anggukan sopan.
Langkahku berhenti di jajakan yang menjual roti isi kesukaannya. Tepatnya kesukaanku, lalu ia menyukainya juga. Dulu, dulu sekali tiap hari aku dibelikannya ini. Ia datang ke sekolahku hanya untuk memberikan roti ini. Tapi sekarang… aku membenci roti isi ini. Aku bahkan lupa aku pernah menyukainya. Pernah suatu pagi aku tidak masuk kelas menunggu di pos satpam hanya karena berharap dia mengantarkan roti isi ini. Tapi sampai bel istirahat berbunyi, ia juga tidak datang. Dari hari itu, aku berhenti menunggu. Dari hari itu, aku berhenti mencarinya. Dari hari itu, aku berhenti menyukai roti isi itu.
Dia tidak ada, mungkin ia benar-benar sudah tidak ingin bertemu denganku lagi. Sejak aku memutuskan lebih baik tidak bertemu dengannya untuk beberapa waktu. Saat itu aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku hanya ingin untuk tidak bertemu dengannya beberapa waktu, tapi dia sepertinya memutuskan untuk tidak bertemuku selamanya. Mungkin aku mengecewakannya. Mungkin aku terlalu pengecut baginya, tapi apakah aku tidak boleh merindukannya?
Aku ingat terakhir kali bertemunya, ia memandangku lemah. Ia menjeritkan namaku dengan suara yang histeris. Tangisnya pecah saat itu juga. Sedangkan aku, berdiri kaku dan tak ingin mendekat. Aku hanya mencium keningnya dan berlari ke tempat sejauh mungkin yang aku bisa. Bahkan aku tidak menangis sama sekali. Aku tidak merindukannya saat itu, bahkan aku mengutuknya yang terus menerus menyusahkanku. Dan keesokan harinya, aku diberi tahu Ayahku bahwa ia memutuskan untuk pergi. Dan aku dimintanya untuk tidak bersedih. Saat itu aku tidak sedih. Saat itu aku tidak menangis. Saat itu aku hanya diam. Saat itu aku hancur.
Aku tahu penyesalan datang diakhir.
Dan di sinilah aku,dengan penyesalan yang tak ada akhir. Aku tahu ia membenciku yang tidak bisa berpindah dan aku sangat tahu ia masih terus memperhatikanku –karena ketika aku benar-benar merindukannya, aku merasa diperhatikan—.
Aku kembali mencarinya, mencari sejauh yang aku bisa. Hingga kakiku melangkah di suatu taman kanak-kanak. Taman kanak-kanakku. Lututku lemas. Lemas sekali. aku terdiam. Tempat biasa kami bertemu. Setelah aku pulang, ia selalu ada dengan senyumnya yang mengembang, dengan makanan yang biasa ia bawa, dengan cintanya kepadaku yang katanya bertambah seiring waktu. Anak TK mengerti cinta. Itu kan lucu,
mungkin hanya cinta monyet. Tapi tidak untuk cinta yang satu ini, cinta abadi
mungkin. Bicara tentang cinta, apakah dia masih mencintaiku?
Katanya cintanya seperti jalan yang tak akan putus, tapi dia pasti tidak tahu kalo ada jalan yang buntu.
Aku masuk ke TK-ku. Aku lihat semua pojoknya tidak jauh berbeda, dari terakhir aku datang. Aku ingat sekali waktu itu. Laptopku rusak, dan dia membawanya ke depan komplek rumahku dan berjanji untuk memperbaikinya. Saat itu menjelang magrib, dan hingga magrib usai. Ia juga tidak tampak. Aku ingat dengan jelas, hari itu hujan gerimis. Aku sendirian di rumah. Aku takut. Bukan karena aku sendiri, tapi karena dia tak kunjung datang. Dan akhirnya aku beranikan diri untuk pergi, dengan membawa dua payung aku kelilingi komplekku. Dan dia tak juga tampak. Saat itu aku sangat takut, takut sekali. saat itu aku kira, aku takut gelap, aku takut hujan, aku takut tersesat. Tapi sekarang aku sadar, aku hanya takut kehilangan ia.
Hingga aku tiba di TK ini, lututku sama lemasnya. Tapi senyumku mengembang, aku melihat ia berlari dari kejauhan dengan membawa laptopku dan plastik yang ia bawa dengan hati-hati. Semua ketakutanku sirna seketika, dan berganti menjadi kemarahan.
“Jangan lari-lari nanti jatooh! Kalo jatoh kan susah ini udah malem”
“Tadi ke Mall loh benerin laptop ini, rupanya yang di depan komplek jauh. Ini dibeliin yogurt kesukaan adek.”
Marahku hilang seketika, saat itu mungkin aku merasa bahagia ketika melihat yogurt kesukaanku itu. Tapi sekarang, aku sadar kebahagiaanku adalah hanya dengan melihatnya tanpa membawa apapun dari kesukaanku. Karena sekarang bagiku, dia adalah lebih dari kecukupan kesukaanku. Dan malam itu hujan deras, kami berteduh di TK-ku. Ia banyak berceloteh tentang masa kecilku. Dan saat itu aku hanya menguap bosan, sama sekali tidak menghiraukannya. Tapi bila Tuhan mengulang waktu itu, aku akan memeluknya dan akan selalu mendengarkan ceritanya seberapa sering ia mengulang cerita itu.
Aku membuka pintu rumahku. Kosong. Seperti biasa. Aku merindukan ketika tiba-tiba ia ada di rumahku, menyambutku dengan suka cita dan tersenyum bahagia seolah senyumnya akan melepas seluruh penatku. Aku ingat saat aku memutuskan untuk menjauhinya, ia memanggilku sebelum aku pergi ke sekolah. Ia menangis tersedu-sedu, ia bilang ia seharusnya yang mengantarkanku sekolah. Ia yang seharusnya berada di dekatku di masa-masa menuju kedewasaanku. Hingga satu kalimat yang ia ucapkan “Bila aku sudah sejauh ini bertahan, itu hanya karenamu”. Saat itu, aku berlari. Menjauh. Dan pergi.
Dan kini aku bertanya,bila memang kau bertahan karenaku, mengapa kau sekarang tetap pergi?
Aku terdiam, kunyalakan televisi. Hanya itu yang membuat rumahku terdengar lebih hidup. Aku memandang sekitar dan kembali terdiam. Bukannya aku tidak pernah mencoba untuk mendekat kepadanya. Aku pernah mencoba, saat itu aku datang ke tempatnya. Aku peluk ia, aku menangis dipelukannya. Dan ia hanya berkata “Tidak apa-apa. Semua akan kembali seperti biasa.” Saat itu aku tenang, aku tersenyum, aku bersyukur. Tapi entahlah seminggu dari kejadian itu, aku benar-benar memutuskan untuk menjauh darinya, dan satu hari setelah seminggu...ia memutuskan untuk pergi dariku.
Sejujurnya, aku letih dengan perasaan kini. Kesepian dan kesendirian. Aku sudah mencoba untuk setegar dan sebisa mungkin menghadapi ini. Tapi hanya dengan mengingat ia, semuanya terasa gagal. Harus kemana lagi aku mencarinya? Aku hanya ingin bertemunya sekali saja, menemaniku di hari pertama puasaku. Menemaniku sahur pertamaku, menemaniku di hari menuju kemenanganku. Tapi sekarang aku menyerah, tampaknya terlalu sulit untuk Tuhan mengabulkan permintaan hamba yang telah membenci-Nya. Walau hanya dalam mimpi.
“Bangun dek! Ayok bangun,hari pertama puasa kok telat! Ayo.. Mama juga kesiangan ini, jadi cuma masak mie kuah. Mau kan?” Ternyata aku tertidur semalaman. Aku melihat mamaku, masih menggunakan daster dan mata yang dibuat seolah tidak mengantuk.
“Tidur kok disini. Padahal udah besar, masuk kamar apa. Pulang jam berapa semalem? Tiba-tiba ada aja. Adek tuh cewek, kalo ada apa-apa kayakmana. Kayak disuruh aja pulang malem, mama ga mau lagi ya marah sama adek. Tapi adek ni kayak minta bener kena marah. Kalo pahanya udah dicubit, telinganya udah dijewer, mulutnya udah dicabe
baru tau. Ayok cepet sahur!”
“Mama ni tengah malem, masih aja ngoceh. Adek ni baru bangun, masih ga sadar apa yang mama bilangin.”Jawabku santai dan menuju meja makan “kok Cuma satu? Mama ga sahur?"
“Adek ni melawan bener ya sekarang, mentang-mentang udah punya pacar. Pacar jelek kayak gitu, apa coba bagusan papa, papa itu item-item kayak gitu...”
Aku melahap habis mie kuah buatan mamaku, enak dan tidak pernah berubah. Dan mamaku tetap melanjutkan ocehan panjangnya, aku hanya membalasnya dengan anggukan singkat atau menguap panjang. Dan setelah mie kuahku habis, aku segera menjauhkan kursi.
“Eh mau kemana? Sini mama bilangin dulu”
“Apa ma, adek ni ngantuk.”
“Adek lagi ada masalah apa? Kok kayak ga semangat bener?”
Aku terdiam, aku merindukan situasi ini. Aku menggeleng, seperti biasa.
“Kalo ada masalah, cerita aja sama mama. Apa masalah sama pacar, masalah sekolah, atau masalah apa gitu?”
Aku terdiam dan bingung.“Mama...udah sehat?”
“Adek ga apa-apa kalo ga mau cerita sama mama, tapi yaa mama ni tau semuanya tentang adek. Mama bertahan selama ini kan juga karena adek. Mama selalu merhatiin adek. Dan kalo adek sedih, rasanya mama kayak ga berguna”
“Mama udah sehat?” Aku mempertegas pertanyaanku.
“Hidup itu memang susah dek, tapi kalo adek yakin adek tetep bisa ngejalaninnya. Inget ya mama selalu ada untuk adek. Udah tidur gih sana, katanya tadi ngantuk. Mama juga mau tidur lagi, inget loh sejauh apa pun kita, mama tetep mama adek.” Mama bergegas pergi.
“Ma, mama udah sehat?” Aku setengah berteriak.
Aku bingung. Benar-benar bingung. Aku bingung, sungguh binggung. Semuanya tampak indah, semuanya tampak sempurna, semuanya tampak sesuai harapan. Sudah lama aku tidak merasakan kebahagiaan yang luar biasa ini. Kebahagiaan yang selama ini hanya aku dapatkan dari dia yang selama ini aku cari-cari, Mama.
Mama? Aku tersentak. Aku terdiam, tapi tak lagi bingung. Aku menangis sekeras-kerasnya.
Sekeras mungkin, aku merindu sekali. Merindu, Tuhan.
terkhusus untuk Anda, seperti yang saya ceritakan saya merindukan anda.
setahun yang lalu saya membenci saat ini, ketika saya menjauhi anda.
selamat menuju satu tahun, Mama

