Melinda Tidak Kecewa

23.58

Sudah dua hari buku kecil pemberianku pada Melinda, anakku berada di kantorku. Buku itu tertinggal di tas kerjaku, mungkin termasuk oleh istriku. Awalnya aku tidak peduli, aku hanya meletakkannya di sebelah  komputer di kantor. Namun entah mengapa hari ini, aku berniat untuk membukanya. Buku itu mungkin baru terisi seperempat bagian, lembar pertama terdapat gambarku, istriku dan Melinda. Aku tersenyum kecil, coretan pensil yang tak teratur itu berhasil mengambarkan keharmonisan kami sekeluarga. Lembaran selanjutnya masih dipenuhi dengan coretan-coretan pensil berupa gambar. Entah, gambar apa aku tidak mengerti. 

Tiba-tiba rekan kerjaku, Rudi datang dengan anak laki-lakinya. Anak laki-lakinya bersekolah di tempat yang sama dengan Melinda. Aku tersenyum melihat kedatangan mereka. Rudi beda denganku setelah menyemput anaknya, ia membawa anaknya ke kantor karena istrinya juga bekerja di tempat yang sama dan rumah mereka tertinggal.
“Beri salam pada Om Yuda!”suruh Rudi pada anaknya.
“Selamat pagi Om!” kata anak Rudi dengan senyum mengembang. Ada-ada saja anak Rudi ini, sudah siang begini masih dibilang pagi. Kalau anakku sudah tahu kapan dia berkata selamat pagi, kapan dia berkata selamat siang. 
“Selamat siang!” jawabku dengan senyum yang tak kalah mengembang. Rudi terkikih. Entah apa yang membuatnya geli, aku tidak peduli. Dan aku kembali fokus pada buku anakku.
Aku penasaran dengan gambar yang dibuat anakku. Dengan hati-hati dan cermat aku mencoba menerka gambar apa yang dibuatnya. Gambar pertama, seorang laki-laki yang memberikan sesuatu pada seorang perempuan. Gambar dibaliknya, seorang perempuan duduk di kursi. Gambar selanjutnya, seorang perempuan menangis. Gambar selanjutnya, seorang perempuan tersenyum dan gambar yang terakhir tidak begitu jelas. Seperti gambar hewan tetapi berkaki lingkaran, aku terus tersenyum. Ternyata anakku pandai menggambar. Aku bangga, Melindaku yang berumur baru 4 tahun sudah pandai menggambar. Ingin rasanya aku menjemputnya sekarang dan mengajak dia ke kantorku bermain bersama seperti Rudi dan anaknya.
Dibalik beberapa gambar ada dua lembar yang dipenuhi dengan tulisan Melinda. Ternyata tidak hanya pandai menggambar, anakku juga pandai menulis. Memang tidak serapi tulisan orang dewasa, tapi untuk umurnya yang baru 4 tahun tulisan itu cukup rapi. 
Tulisan pertama, Melinda sayang ayah. Aku tersenyum senang
Tulisan kedua, Ini dari ayah.  Dan aku kembali tersenyum ketika aku tahu maksudnya. Buku kecil ini memang dariku.
           Tulisan ketiga, Apa ayah sayang Melinda? Aku tertegun, apa maksudnya? Tentu saja aku sayang padamu, jawabku dalam hati. Segera aku balik lembar selanjutnya.
       Lembar kedua hanya ada satu kalimat. Satu kalimat yang membuatku sangat tertegun. Melinda tidak marah ayah, walau ayah sibuk. Susunan kalimat yang aneh, tapi otakku merekam maksudnya adalah Melinda tidak pernah marah pada ayah walaupun ayah sibuk.
         Lembar selanjutnya tertulis Ayah terlambat, Melinda tidak kecewa. Jelas-jelas sekali maksudnya. Aku tidak perlu menyuruh otakku menerjemahkan lagi, karena maksudnya sangat jelas. Namun, terlambat? Pernahkah aku terlambat untuk Melinda? Di bidang apa? Aku tidak pernah terlambat menyemputnya pulang dari taman kanak-kanak, tepat ketika aku istirahat makan siang, pukul 13.00. Jadi dalam hal apa aku terlambat untuk Melindaku.
      Aku melirik arlojiku, pukul 11.30. Belum waktunya Melinda pulang tapi aku akan menyemputnya. Mungkin dia mengira aku tidak menunggunya sekolah maka dia bilang aku terlambat. Ya, mungkin seperti itu. Mungkin dia belum mengenal kata menunggu, jadi dia menggunakan kata terlambat. Dan aku kembali, membaca kalimat itu. Namun, aku masih merasa aneh.
       Tak sengaja mataku kembali menangkap, keakraban Rudi dan anaknya. Anak Rudi sedang latihan membaca dan Rudi hanya tersenyum. Sesekali ia mencium putranya, memeluk dan membelai lembut rambut putranya. Andai ada Melinda di sini.
     “Hei Yuda! Lihat anakku, sudah pandai dia membaca! Bagaimana dengan anakmu? Kau tidak pernahkan melatihnya membaca, bukan? Haha.” gurau Rudi. Awalnya aku ingin tertawa, tapi aku tertegun. Ya, aku tidak pernah melatih dan membaca bersama dengan Melinda. Aku saja baru tahu Melinda bisa menggambar dan menulis dari buku kecil ini.
         Tiba-tiba aku tersentak kaget, Melinda dan anak Rudi satu sekolah. Lantas mengapa…
          “Anakmu pulang lebih cepat ya?” tanyaku.
         “Anakku? Tidak dia pulang sesuai jadwal, pukul 10.00. Mengapa? Anakmu juga begitu, ’kan?” kata Rudi dengan tatapan heran.
        Pukul 10.00, aku biasa menjemput Melinda pukul 13.00. Aku kembali membuka buku kecil milik Melinda. Ayah terlambat, Melinda tidak kecewa. Aku kembali tertegun, bukan karena bingung seperti tadi. Tapi tertegun, karena mengerti. Jadi, selama ini aku selalu terlambat. Terlambat menjemputnya.
     “Mana ada taman kayak-kanak yang pulang di atas jam 10, Yuda.” kata Rudi santai. Aku sadar, betapa bodohnya diriku. Hampir setengah tahun, Melinda sekolah di taman kanak-kanak itu dan aku selalu menjemputnya pukul 13.00 dan dia tidak pernah marah padaku. Jangankan marah, kecewa pun tidak. Mengapa istriku tidak pernah bilang? Tiba-tiba kekesalanku pada istriku meluap, aku segera memasukan buku kecil itu ke sakuku. Dengan setengah berlari, aku meninggalkan kantor dan mengendarai motorku ke tempat kerja istriku. Akan aku marahi dia, mengapa dia tidak pernah bilang padaku jika Melinda pulang pukul 10.00. Akan aku tunjukkan buku itu pada istriku. Betapa sedihnya Melindaku menunggu sendirian. 
Di perjalanan, aku berpikir apabila aku ke tempat istriku. Melinda akan semakin lama menunggu. Aku semakin kencang menancapkan gas. Kasihan sekali Melindaku menunggu, aku tidak tega melihat dia sendiriaan. Bagaimana bila dia diganggu orang? Diculik orang? Aku tidak bisa membayangkannya.
“Sial…” gerutuku, ketika lampu merah menghalangku melanjutkan perjalanan. Pikiranku melayang, ketika kemarin aku menjemput Melinda dan memarahinya. Karena aku menemuinya dengan berlinang air mata. Ketika aku tanya mengapa ia menangis, ia mengaku kepedasan karena membeli dan menghabiskan sebungkus rujak. Selama perjalanan pulang aku memarahinya habis-habisan. Aku mengatakan, betapa tidak baiknya rujak bagi kesehatan, bagaimana bila ia sakit perut dan tidak bisa sekolah. Setelah aku menurunkannya dari motor, dia langsung berlari ke rumah dan tak berkata apa pun kepadaku. Kecuali tadi pagi, ia datang membawakanku kopi dan mencium keningku. Kau memang tidak pernah kecewa padaku, Nak. Walaupun aku terus mengecewakanmu.
            Sekarang aku baru sadar, bodohnya aku percaya kepadanya. Ia tidak mungkin membeli rujak karena dia tidak punya uang, maka dia tidak mungkin menangis karena kepedasan. Dia menangis karena terlalu lama menunggu. Kau memang tidak pernah kecewa padaku, Nak. Walaupun aku terus mengecewakanmu.
            Aku mengambil buku kecil itu lagi, dan aku lihat gambar hewan tetapi berkaki lingkaran. Ternyata dibalik kertas itu ada tulisan dan aku melewatkannya, motor ayah Melinda tunggu di sekolah.
            “Ternyata, ini bukan hewan tapi motor! Dan motorku.” Segera kutancapkan kembali gas dengan kencang. Di perjalanan, aku merasa bodoh sekali. Selalu terlambat untuk anakku tersayang,  aku tidak ingin mengecewakannya. Tapi aku selalu terlambat baginya.
            Sampai akhirnya, motorku sampai di sekolahan Melinda. Dia duduk sendirian di pos satpam, berteman seorang satpam tua. Seperti biasa ketika aku menjemputnya suasana sekolah sudah sepi, dia duduk dengan tenang berteman satpam tua dan buku kecilnya. Tapi untuk kali ini, dia tidak berteman buku kecilnya itu.  Bodohnya diriku selama hampir setengah tahun tidak menyadari suasana yang sepi dan tidak menanyakan pada satpam tua itu. Tidak—aku pernah menanyakan pada Melinda mengapa sekolah sudah sepi dan menanyakan apakah aku terlambat menjemputnya. Dia hanya berkata, guru mengadakan rapat. Lagi-lagi, aku merasa dibodohi oleh Melindaku dan lagi-lagi mengecewakannya.
Di sisi pos satpam lainnya, terdapat seorang ibu dengan anak yang menangis. Tampaknya, ibu itu terlambat menjemput dan anaknya menangis.
            “Jangan menangis lagi! Lain kali ibu tidak akan terlambat menjemputmu! Ibu berjanji, pulang ini kita akan makan siang di luar. Kau mau, ‘kan?” rayu si ibu, anaknya hanya bisa mengangguk. Mereka berdua berjalan beriringan.
            Melindaku kuat, dia tidak menangis walau hampir setengah tahun dia harus menungguku tiga jam. Tidak seperti anak itu, aku  menatap Melinda. Dan setengah berlari mendekatinya, aku segera memeluknya. Melindaku yang kaget hanya pasrah dipelukanku.
            “Apakah ayah terlambat?” kataku dengan bodoh.
            “Tidak, Ayah.” ucap Melinda dan ingin segera berlari ke arah motorku tapi aku menahannya.
            “Apakah gurumu sering mengadakan rapat sehingga kau pulang cepat hari ini?” tanyaku dengan penuh senyum curiga. Melindaku hanya mengangguk pelan.
            “Melinda, Ayah tidak pernah mengajarkan Kau berbohong!” emosiku sedikit terpancing. Melindaku hanya tertunduk lemas, dengan pasrah dia berjalan pelan ke arah motorku. Aku segera ingin menahannya, akan tetapi satpam tua menahanku.
            “Maafkan Saya, Saya tidak berniat lancang.” ucap satpam tua dengan hati-hati.
            “Ya, mengapa, Pak?”tanyaku tak mengerti.
            “Tidak ada yang mengajarkan Melinda berbohong. Saya tahu karena Saya selalu menemaninya di sini, menemaninya menunggu Anda, menemaninya menulis buku kecil itu dan yang hanya Saya tahu dia selalu berkata kata ibuku terlambat itu tidak apa-apa asalkan tidak sama sekali.” kata satpam tua itu dengan senyum mengembang dan terus memandang pada Melinda yang sedang berusaha naik ke motorku. Seolah-olah Melinda adalah peri kecil yang tidak pernah jemu untuk dipandang.
            “Tapi, tetap tidak baik berbohong untuk menunggu keterlambatan Saya, Pak” bantahku.
            “Lebih tidak baik lagi, menutupi kesalahan dengan emosi. Katakan maaf dan berjanji tidak akan ulangi lagi. Maka dia benar-benar tidak akan pernah kecewa padamu hingga ia dewasa,” ucap satpam tua itu. “Ayolah, cepat. Aku ingin bertugas lagi!” mendorongku lembut ke arah Melinda. Aku segera berlari kecil dan menghampiri Melinda. Aku membantunya naik ke atas motorku.
            “Maafkan Ayah, karena terus membuatmu menunggu!”kataku berat. Rasanya sangat berat untuk mengakui kesalahanku di depannya.
            “Maafkan Aku juga, Ayah. Tapi aku tidak pernah berbohong. Aku hanya menuruti apa kata ibu” katanya cepat. Menuruti kata ibu? Jahat sekali istriku bila menyuruhnya berbohong, dia tidak tahu betapa buruknya dampak dari berbohong. “Tapi Ayah jangan beri tahu ibu ya!” aku mengangguk cepat.
            “Aku dan ibu memiliki rahasia, dan Ayah tidak boleh tahu. Kata ibu, Ayah tidak  boleh tahu jam berapa aku pulang. Maka, aku harus menunggu sampai Ayah datang.” katanya dengan polos.
            “Apa maksud ibumu?”gurauku.
            “Kata ibu, jika Aku berhasil bersabar—Ayah akan membelikanku sesuatu seperti buku kecil yang Ayah belikan itu. Tapi Aku menghilangkannya, maafkan Aku, Ayah.” kata Melindaku dengan penuh penyesalan. Aku segera mengambil buku kecil itu dari sakuku dan ketika aku ingin memberikannya kepada Melinda ada secarik kertas kecil yang terjatuh.

Melinda sayang, sabar ya menunggu ayah!
Terlambat itu tidak apa-apa asalkan tidak sama sekali.
Percayalah ayah akan datang menyemputmu,
Ayah dan ibu selalu menyayangimu.

            Aku terdiam benar-benar terdiam, surat dari istriku untuk Melinda membuatku tersentak dan mengingat percakapanku di suatu malam dengan istriku. Saat itu, istriku memintaku membelikan kendaraan untuknya dengan alasan untuk menjemput Melinda. Tapi aku menolaknya dengan keras, karena keuangan kami sedang tidak memadai dan aku bisa menjemput Melinda. Lalu, istriku bertanya lagi kapan aku akan dipromosikan. Sungguh saat itu aku merasa istriku sangat tidak sopan dan aku menjawab sekitar setengah tahun lagi. Lalu dengan tersenyum istriku menjawab Melinda akan sabar menunggu dalam setengah tahun itu.
            Sungguh saat itu aku tidak mengerti, dan saat ini aku telah mengerti. Istriku tidak pernah benar-benar menyuruhku membelikannya kendaraan, tapi dia menyuruh Melinda menungguku. Istriku tidak pernah menganggu pekerjaanku untuk menyemput Melinda, tapi dia meyakinkan pada Melindaku bahwa aku akan datang. Istriku tidak pernah menyatakan bahwa dia kecewa padaku, dia hanya berkata kepada Melinda bahwa aku menyayangi Melinda dan aku tidak akan mengecewakan Melinda.
            “Melinda, kita ke kantor ibu ya?”tanyaku pada Melinda. Melinda hanya melirikku dengan mata bulatnya.
            “Ini rahasia kita, sebenarnya Ayah sudah bosan makan siang sendirian di kantor. Dan sebenarnya Ayah sudah sangat lapar sekarang. Lalu satu rahasia kita lagi, Kau tidak perlu menunggu lagi karena ayah menyayangimu dan ibumu.” kataku sambil mengecup kening Melindaku yang hanya mengangguk-anggukan kepala seraya mengerti.
            “Ya, kita punya rahasia ya, Ayah!”ujarnya dengan senyum mengembang. Ya, istriku—aku juga punya rahasia dengan Melinda kita. 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images