Ini Cerita Akhir Tahun

07.46

Ini cerita akhir tahun

Ola mematikan televisi itu segera. Sesegera mungkin.Sesegera mungkin sebelum acara televisi itu dimulai. 
 “Kenapa dimatikan?” 
“Kalo saya terus menerus menonton nanti tugas saya tidak selesai. Ini akhir tahun, saya tidak mau tidak liburan karena mengerjakan tugas” 
“2010 saja masih tetap mengerjakan tugas. Tinggalkan saja,di ruang depan banyak yang datang” Kepala Ola terangkat dari laptopnya “Abang saja yang ke sana”

 ***
 Ini cerita akhir tahun 
Ola mematikan televisi itu segera. Sesegera mungkin. Sesegera mungkin sebelum acara televisi itu dimulai. 
“Kenapa dimatikan?” 
“Saya bosan” 
 “Saya juga” 
“Pergilah cari makanan, saya lapar. Ini akhir tahun,jatahnya kau yang ke sana” 
“Ini kan ganjil bukan jatahku”
 “Ini Bulan Desember, bulan 12. Genap. Bukan jatahku” 
 “Tapi ini minggu ke tiga. Ganjil. Tahun 2011. Ganjil. Bukan jatahku” 
 Kepala Ola terangkat dari laptopnya “Abang saja yang ke sana” 

*** 
“Saya menyuruhmu, kau menyuruhku. Saya lebih tua darimu” 
“Dan Saya lebih muda darimu” 
Selalu menjawab seperti itu. Arpa mengambil remote televisi dan kembali menyalakannya. 
“Kan sudah saya bilang, saya ingin mengerjakan tugas” 
 Arpa tetap menyalakan televisi dan membesarkan volumenya. 
“Abang kan saya sudah bilang, saya ingin mengerjakan tugas” 
Arpa seolah tak mendengar. 
 “Abaaaaaang!” berteriak histeris 
“Kan sudah saya bilang, kau ke sana saja. Tidak usah mengerjakan tugas!”

 *** 
“Saya tidak mau!” 
“Abang kenapa ya ada dua huruf dalam satu tombol keyboard ini?” 
 “Mana ada” 
“Ada ini, ada 1 dan !, ada 2 dan @, ada 3 dan #” 
“Mana ada” 
 “Kau ini tidak pernah melihat keyboard ya, ini jelas-jelas ada” 
 “Itu bukan huruf” 
 Terdiam. 
“Sudah cepat beli makanan sana!” 

*** 
“Abang…ambilkan saya minum. Saya haus!” 
“Tidak mau!” 
“Saya sedang mengerjakan tugas, kalau saya bisa saya ambil sendiri.” 
“Ambil saja sendiri” Berdiri mengambil minum 
“Kau mau kemana?” 
“Pergi, ambil minum” 
“Lantas meninggalkan saya sendiri?” 
 “Iya” 
“Diam kau di sana, saya ambilkan minum”
 Ola tersenyum senang “Abang….!” 
“Apalagi?” 

*** 
Tidak ada televisi yang perlu dimatikan, tugas yang dikerjakan atau pun perdebatan yang terjadi. Karena semuanya berawal dari sini. 
Arpa dulu masih ramah. 
Ola dulu masih pendiam. 
Arpa dulu tidak kasar. 
 Ola dulu tidak manja. 
Arpa dulu belum suka menyuruh. 
Ola dulu belum suka merengek. 
Ini cerita akhir tahun 2009, semuanya berbeda. Kecuali mereka yang telah saling mencintai.

*** 
Ini cerita akhir tahun 
 “Abang saya ingin pindah. Ibumu banyak bicara, saya tidak suka”
 “Diamkan saja” 
“Tapi saya tidak terbiasa” 
“Ibumu sih terlalu cepat meninggal” 
 “Bukan salah dia” 
“Jelas salah dia, kalau tidak kau pasti terbiasa” 
Terdiam 
“Bukan ibuku yang menginginkan cepat meninggal” 
“Untung kau bertemu saya, kalo tidak pasti kau lupa caranya mencintai” 

*** 
“Kau tak punya hati, pergi sana!” duduk di tempat tidur dan membuka laptop 
“Jika saya pergi kau sendiri” 
“Saya tidak peduli” 
“Kau terlalu mandiri, saya merasa tidak berguna! Lebih baik saya pergi!”
 “Memang kau tidak berguna!” Arpa menatap sinis, membuka lemari dan memasukan pakaian ke dalam koper.
 “Kau seperti banci!” Arpa terdiam dan keluar kamar. 
 “Ini…” memberi kertas 
“Apa?"
 "Surat cerai" 
 "Letakan saja” Ola sibuk kembali dengan laptopnya.

*** 
“I love you” 
 Tersenyum sinis “Bila ada maunya kau tampak begitu manis”
“Ayo cepat sana ambilkan saya minum!” 
“Tidak jadi ah saya malas jadinya” 
“Tidak jadi juga ah I love you nya” 
Terdiam
“Iya saya ambilkan” 
Ola tersenyum senang 
“Abang….!” 
 “Apalagi?” 

 *** 
Arpa menatap sesinis mungkin 
“Ada apa lagi? Letakan saja!” 
“Buka dulu!” 
 “Malas ah!” 
“Kalau begitu bereskan barang-barangmu” 
Mata Ola langsung melotot lebar. “Kau mengusirku, enak saja! Rumah ini kita beli bersama-sama, lagipula bila kita bercerai saya ingin tetap di sini.”
“Saya pun tetap di sini, bagaimana bisa kau bisa hidup tanpa saya?” 
“Katanya saya terlalu mandiri, kau kan juga tidak berguna” 
“Memang kau terlalu mendiri, tapi kau tak bisa hidup tanpa saya. Sudah buka saja” 
 Membuka surat itu dan mengulum senyum “Abang…!” 
 “Itu liburan akhir tahun sebelum kita bercerai!” 
“Abang….!” Memeluk dari belakang “I love you” 
*** 
Ini cerita akhir tahun 
“Ola, saya mendapatkan ini dari teman kantor saya” 
“Apa itu?” 
“Tiket menonton konser, dia mengajak saya malam minggu bersamanya” 
Ola terdiam dan menghela nafas panjang “Dia tidak tahu kalau abang sudah punya pacar. Abang pasti menerimanya?” 
 “Tergantung jawaban kau” 
 “Mengapa saya?” 
“Bila kau menerima lamaran saya, maka saya akan tolak dia dan bilang kalau saya sudah punya calon istri” 

***
“Jawab dulu mengapa di satu tombol ini punya huruf yang berbeda?” 
 “Itu bukan huruf” 
“Ya apalah itu terserah” 
“Kau ini bagaimana penulis tapi tidak tahu apa itu. Itu symbol dan angka. Katanya tulisannya sudah terkenal sampai go internasional.” 
 “saya Cuma Tanya mengapa?”
 “Untuk menghemat tempat” 
“Berarti kita tinggal berdua juga untuk menghemat tempat” 
 “Kita tidak tinggal berdua, kita hidup berdua” 

*** 
 “Jangan lama-lama!”
Satu menit kemudian 
“Abang!” 
Dua menit kemudian 
 “Abang!” setengah berteriak 
Lima menit kemudian 
“Abaaaangggg!!!” 
“Apalagi?” 
“Lama sekali kau mengambil minum untukku!” 
 “Kau tidak tahu jarak dari kamar kita ke dapur? Saya harus melewati dua kamar, satu ruang tamu, satu ruang keluarga, satu meja makan, dan baru dapur!” 
 “Itulah mengapa saya menyuruh abang yang ambil” 
“Tapi kau sangat tidak sabar, ini untukmu!” 
“Saya takut ada apa-apa dengan abang” kembali sibuk dengan laptopnya. 

*** 
“Berarti kau mengkhawatirkanku?” 
“Tidak, saya hanya takut kehilanganmu” 
“Apa bedanya?” 
“Abang ini bodoh sekali” 
Diam 

***
“Abang…” 
Arpa melirik sekilas 
 “Abang?” 
 Arpa pura-pura tidur 
“Abaaaaanggggg!” 
Arpa mendengkur 

*** 
 “Kau itu selalu pura-pura takut kehilanganku. Padahal saya kan hanya ke dapur” 
“Iya, saya hanya pura-pura” kembali sibuk dengan laptopnya 
“Masih menulis cerita itu?” 
“Iya” 
“Sampai kapan?” 
 “Sampai saya ingin mengakhirinya” 

*** 
“Bila saya menerima lamaranmu apa yang abang janjikan?” 
 “Tidak ada” 
 “Tidak ada?” 
 “Apakah itu keharusan?” 
 “Bagi saya iya, menikah itu hal yang susah. Hidup bertahun-tahun dengan orang yang berbeda, tidak sedarah. Bila abang tidak menjanjikan apapun, bagaimana saya bisa bertahan?” 
 “Saya menjanjikan kau akan makan makanan bergizi setiap hari” 

*** 
Malam sebelum liburan akhir tahun dimulai. 
Malam setelah Ola memanggil Arpa. 
Malam setelah Arpa pura-pura mendengkur. 
Malam itu seperti malam-malam sebelumnya. 
 Malam-malam sebelumnya, setiap malam. 
Setiap malam, setiap ketika Arpa terbangun pada jam yang sama. 
Ketika Arpa terbangun pada jam yang sama untuk memperhatikan Ola. 
Ola bukannya tidak tahu. 
Karena sebenarnya Ola juga selalu terbangun. 

***
“Terima kasih kekasih!” Ola mengecup pipi Arpa sekilas. 
 “Kau ini berlebihan sekali” membersihkan pipinya. “Bila ada bekas lipstikmu bagaimana?” 
 “Abang selalu tidak suka” 
“Kau tidak perlu menciumku, kau tidak perlu memelukku, kau tidak perlu memanjakanku. Saya memang tidak suka” 
“Abang tidak romantis.” 
 “Memang” 

*** 
“Kau ingin mengakhiri cerita itu berarti?” 
 “Semua cerita akan berakhir, Bang” 
“Buku yang bisa berakhir, tapi cerita dalamnya tidak akan berakhir” 

 *** 
Akhir tahun yang mereka lewati sudah terlewati. 
Tidak ada petunjuk waktu. Tidak ada bukti kenangan yang disimpan. 
Bukan karena tidak ingin. 

 ***

 “Mengapa kau ingin membukukan cerita kita?”
“Karena bila suatu saat nanti saya membacanya paling tidak saya akan tersenyum” 
“Dasar penulis, kata-katamu terlalu tinggi. Saya tidak mengerti” 
“Abang memang bodoh”
 “Bukannya kau tidak ingin ada kenangan di antara kita? Jadi bila kita berpisah kau akan biasa saja”
 “Iya memang.” 
 “Buku itu bagaimana?” 

*** 
 “Ayahku juga bisa menjanjikan saya makan bergizi setiap hari?” 
 “Lantas saya harus bagaimana?” 
 “Abang bisa berjanji akan menyayangi saya selamanya, tidak meninggalkan saya selamanya” 
 “Lalu bila saya tidak melakukan itu, maka saya akan melanggar janji? Terlalu berat janjinya. Saya tidak bisa” 

 *** 

“Lantas tugas saya apa bila abang tidak suka diperlakukan seperti itu?” 
“Tugasmu hanya menerima” 
Ola menarik nafas panjang sekali. 
Pembaca pun tampak sebal.
Penulis pun ikut emosi. 
Arpa selalu begitu.

 *** 
Arpa selalu begitu

 *** 
Arpa selalu begitu

 *** 
Arpa selalu begitu

*** 
Arpa selalu begitu 

*** 
Arpa selalu begitu 

*** 
 Arpa selalu begitu 

*** 
Arpa selalu begitu 

*** 
Arpa selalu begitu 
Ola menarik nafas sedalam-dalam mungkin. 
Mengangkat kepalanya setinggi mungkin. 
Memejamkan mata. Tidak 
Membuka matanya selebar mungkin, karena bila ia lengah. 
Air itu akan jatuh.
 Bila air itu jatuh, pertahanannya akan runtuh. 
Bila pertahanannya runtuh, ia tidak menjamin akan ada cerita akhir tahun lagi. 

*** 
Ketika Arpa terbangun pada jam yang sama untuk memperhatikan Ola. 
Ola selalu begitu Ola. 
Selalu. Begitu.
Memang begitulah Ola. 
Memang Ola selalu begitu. 
Arpa merapatkan tubuhnya ke arah Ola. 
Memeluknya erat sekali. 

*** 
“Badanku sakit semua, setiap bangun tidur akhir-akhir ini.” 
“Jangan mengalihkan pembicaraan” 
“Jawab dulu mengapa badanku sakit semua akhir-akhir ini” 
“Saya terlalu erat memelukmu” 
Terdiam 
“Cepat jawab, buku itu bagaimana?” 
Ola mengambil nafas panjang “Ya untuk kenangan kita”
“Katanya kau tidak ingin” 
“Dulu, saya merasa bukannya tidak ingin tapi tidak perlu” 
“Lantas sekarang perlu?” 
“Kenangan itu bukan untuk disedihkan tapi cukup dikenang” 
“Bila kau masih takut kehilangan, jangan dihilangkan” 

*** 

Akhir tahun 2012 
Ola tidak bisa menghela nafas lagi. 
Arpa tidak bisa mengatakan memang begitu lagi 
Ola mulai merasa sesak. 
Arpa mulai mencoba biasa. Arpa menyentuh pundak Ola. 
“Maafkan saya” 
“Iya. Saya juga minta maaf” 

***
Setiap peristiwa akan berakhir begitu saja. Tidak disesalkan. Hanya dilupakan. 
Bagi Ola, semuanya terasa sesak. Pahit-manis terasa ditelan pada waktu yang sama. Tidak tahu harus bahagia atau menderita pada waktu yang sama. Tapi ia terbiasa. 
Bagi Arpa, semuanya terasa semu. Keraguan-keraguan yang semakin lama-semakin tumbuh. Tidak tahu harus semakin menunjukan rasa atau malah menutupinya. Tapi ia terbiasa. 
Wanita mana yang suka diperlakukan kasar.
Pria mana yang suka ditidakpedulikan.
Sepertinya Ola dan Arpa suka. 
Bukan suka, mereka terbiasa. 

***
Akhir tahun 2012 
Arpa tidak lagi bangun 
Tapi Ola tetap menunggu. 
Dalam diam. 
Semakin sesak. 
Ketakutannya benar-benar terjadi. Akan ada ketika saatnya, Arpa tidak lagi bangun memperhatikannya dalam keadaan yang Arpa kira tidur. Lalu memeluknya erat sekali. Hingga esok pagi. 
Tapi malam ini tidak. Malam besok mungkin juga tidak. Tidak juga malam esoknya. 
Apa yang bisa Ola lakukan kecuali berharap? 
Tapi malam ini ia bisa menangis. Ia menangis. Dalam diam. 

***
 Akhir tahun 2012 
Arpa tetap bangun dan memperhatikan Ola. 
Hanya dengan mata tertutup. 
 Ia merasa sudah tiba saatnya ketika Ola akan mengakhirinya.Ketakutan terbesarnya. Sejak Ola membuat buku itu. Ia merasa ia hanya akan menjadi kenangan. 
Banyak yang bisa Arpa lakukan. Dengan membuat kenangan manis. Tapi selalu gagal.
Malam ini, ia mendengar istrinya menangis. Untuk pertama sekalinya. Setelah beribu-ribu hari mereka lalui. 

 *** 

Akhir tahun 2012 
Tangan kokoh bergerak


 memeluk erat Ola. 

  ***

 Akhir tahun 2012 
Ola menangis sejadi-jadinya. Arpa menangis dalam diam. 
Ola berbalik dan mengatakan kalimat yang takkan pernah Arpa lupa 
 “Dari awal saya sudah menyangka, saya tidak pantas Abang pertahankan”

 *** 

Akhir tahun 2012
Biarlah pembaca membaca apa.
Memutuskan ceritanya bagaimana.
Yang jelas cerita ini tak berakhir.
Mungkinkah akhir yang bahagia atau tanpa akhir yang bahagia.
Atau juga mungkin bahagia tanpa akhir.
Tidak dibutuhkan kejelasan tentang cerita.
Tapi ini jelas cerita.
Hanya cerita akhir tahun Biola-Harpa.
Pasangan yang saling mencintai dengan caranya sendiri.

Untuk seseorang yang saya janjikan satu dan selamanya. Saya tidak perlu janji, tapi anda.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images