Dia
03.20Bila cinta akan menemukan cinta,
Posisi kami tetap sama saat ini, dia dan aku berhadapan dengan tangan yang saling menyatu dan jempol yang saling berlawanan. Kalahkan dan katakan semuanya. Jujur, tidak ada penyesalan, dan tinggalkan. Yah dengan permainan ini. Hanya dengan permainan ini. Karena kami berawal dari permainan ini dan harus berakhir dg permainan ini.
Pikiranku benar-benar kacau. Dari awal bertemu sampai sekarang saat aku ingin melepasnya tetap sama. Bertahun-tahun bersama, tapi tetap sama. Sama seperti diawal, tetap tidak dapat menemukan alasan mengapa aku bertahan.
Dan ketika aku harus mencari alasan untuk melepasnya, tetap sama dengan alasan mempertahankannya: tidak ada, hanya ingin atau mungkin tidak ada, mungkin takdir.
Sejujurnya aku sudah letih menghadapi dia dan semua dramanya itu. Tangisnya, rengeknya, keluhannya, semuanya... Aku sudah letih.
"Kamu kalah sayang" akhirnya aku berkata. Kata yang telah lama aku ingin utarakan bukan sejak lama tapi beberapa waktu ini. Dan setelah ini kata-kataku akan mengalir deras sesuai rencanaku atas alasan meninggalkannya.
Tapi dia tersenyum sekarang.
"Iya, kalah ya"
Bukan itu yang aku harapkan. Aku kira dia akan marah besar kenapa bisa dikalahkan. Lalu aku akan mengatakan bahwa sejak lama sebenarnya aku hanya mengalah. Lalu akan menatap dia dan mengatakan, "Selama hampir 5tahun ini aku ngalah dengan kamu tentang permainan ini. Permainan ini konyol bagi aku, tapi permainan favorit kamu. Jadi aku cuma ngalah biar kamu seneng. Begitu juga dengan hubungan kita, selama ini aku cuma ngalah biar kamu seneng. Tapi kali ini kamu harus tau aku capek ngalah terus, padahal aku bisa menang. Aku rasa kita ga cocok lagi"
Kalimat demi kalimat itu sudah aku persiapan dengan matang. Ketika aku ingin membuka mulut untuk mengatakan itu,
"Permainan ini konyol ya?" Tersenyum
Aku mengangguk setuju
"Kayaknya aku ga mau lagi deh suka sama main ayam jago ini, terlalu konyol. Tapi ini kan permainan waktu kita pertama kali ketemu ya? Jadi aku seneng. Tau gak eh aku udah cerita belom sih dengan kamu?"
Seperti biasa aku akan berkata "belom" dan dengan muka antusias akan mendengarkan ceritanya.
Sejujurnya ini meletihkan.
"Jadi, aku itu dari dulu ga pernah menang main ayam jago " sambil masih terus tersenyum
Dalam hati aku sudah menggerutu, mungkin sudah kesekian ribu kalinya dia cerita.
"Tapi waktu itu kan kamu nantangin aku kan, terus kamu kalah deh..."
Dan aku sudah hapal selanjutnya dia ingin mengatakan apa "terus aku nantangin temen-temen aku deh dan aku menang"
"Aku heran sampe sekarang"
Ternyata dugaanku salah.
"Kenapa kebohongan kamu dari awal kita ketemu sampe sekarang bisa buat aku ngerasa everything? Padahal itu sederhana kan?"
"Kebohongan yang mana?" Aku bingung arah pembicaraan dia
"Itu yang kamu ngalah sama aku waktu main ayam jago" masih tersenyum lebar
Aku hanya tertunduk
"Aku udah tau kok kalo kamu bohong, kamu cuma ngalah sama aku"
"Maaf ya" aku tidak tahu harus berkata apa, hanya itu yang bisa aku katakan. Aku menatap dia, dia masih tersenyum. Kenapa jadi begini? Dia seperti tahu bila aku akan melepasnya. Tapi mengapa sekarang terasa berat.
"Ga perlu maaf kali sayang, gara-gara kebohongan kamu aku jadi nemuin semangat baru dalam segala hal. Yaah, kayak tadi aku bilang aku ngerasa everythingnya kamu" kali ini dia menatapku lebih dalam "dan aku tahu , waktu kamu udah ga bohong lagi. Itu berarti aku bukan everything lagi"
Aku hanya menatapnya, matanya mulai berlinang. Air mata itu akan mengalir dan dia akan merengek, memaksaku untuk memaafkannya lagi dan aku sangat benci itu. Aku alihkan pandangan.
"Iya aku mau kita udahan aja, kita bener-bener ga cocok" akhirnya aku mengatakan itu.
Dia diam, pasti menangis.
Aku sudah letih melihat dia menangis,
Satu menit, dia masih diam. Dasar wanita! Aku mulai memaki dalam hati, maunya apa sih? Apa harus aku meninggalkannya?
Aku memberanikan diri melihatnya, dia masih menatapku. Bukan tatapan membunuh biasanya, atau tatapan mengiba ketika ia sudah letih menangis. Dia menatapku dengan tatapan yang sangat lembut, diselusurinya tubuhku setiap inchinya dengan tatapannya. Aku salah tingkah.
Dia tertawa pelan "Ga apa apa dong kalo aku ngeliatin kamu gini, kan terakhir kalinya"
Tangannya menarik tanganku pelan "Aku tau kita ga cocok. Ga cocok banger malah."
Dia terus mempermainkan tanganku, digengamnya. Aku menariknya dengan pelan. Biasanya dia akan menarik lagi tanganku dan berkata "kamu ga sayang lagi sama aku". Tapi sekarang tidak, dia malah tersenyum. Ikhlas sekali.
"Aku cuma mau nanya, kamu yakin?"
Dia tetap menatapku. Aku melihatnya sekilas. Hubungan kami sudah berumur 5tahun. Dia sudah tahu siapa aku yang sebenarnya dan aku pun begitu. Dia selalu mengatakan bahwa aku everythingnya, dan sebenarnya aku juga begitu. Kami saling mencintai, awalnya semuanya terasa cukup. Apalagi yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan selain keduanya saling mencintai. Tidak ada . Tapi ternyata itu semua tidak cukup. Cinta kami, mungkin cinta aku saja tidak begitu kuat. Pertengkaran yang selalu terjadi membuat aku sudah letih dengannya. Hubungan kami sudah tidak sehat. Akhir-akhir ini aku bertanya-tanya kapan kami terakhir bahagia? Kapan kami terakhir tertawa lepas? Rasanya sudah lama sekali. Aku tahu berpisah bukan cara yang tepat, tapi aku masih muda. Aku bisa mencari yang lain. Nanti bila aku merasa dia yang paling tepat aku akan kembali padanya.
"Yakin" akhirnya aku menjawab.
"Yasudah kalau begitu, kamu yakin aku juga yakin kok" dia masih tersenyum.
"Aku tau kok semuanya bakal terjadi, ga ada yang sifatnya selamanya. Aku ga mau jadi beban kamu"
Kami terdiam. Dia tidak menangis. Sama sekali, bahkan tersenyum lepas.
"Berarti kita ga bisa dong punya mobil yang cuma bisa berdua doang , biar ga ada yang nebeng" dia tertawa "kita juga ga bisa ya namain anak kita dengan nama-nama pemain klub sepak bola favorit kamu" Dia tersenyum. Aku terdiam. Penyesalan mulai datang.
"Satu lagi, berarti 'selamanya' kita gagal dong" dia tetap tertawa. Seolah-olah itu semua lucu.
"Aku ga suka nih suasana gini dan ngomong gini kayak anak muda aja haha" dia tertawa lepas.
Aku masih diam. Aku tahu dia sangat sakit hati. Tawanya itu lepas tapi menyakitkan. Aku tahu dia sangat menyayangiku, aku tahu dia sangat membutuhkan aku. Yang aku tidak tahu, bagaimana dia tanpa aku nanti? Apakah dia akan baik-baik saja? Atau dia akan terus mengejarku? Atau mungkin dia akan langsung menemukan pria yang lebih baik daripada aku? Aku sibuk dengan pikiranku. Semakin aku berpikir, hatiku semakin perih. Mana mungkin ada pria yang bisa lebih baik daripadaku untuknya. Mana ada pria yang sabar menghadapi semua rengekannya, yang mendengarkan semua ceritanya yang tanpa sadar terus dia ulang, yang menemaninya bermain ayam jago yang konyol itu, yang menemaninya tidur via telepon bila dia takut setelah menonton film horor, mana ada pria yang bisa sehebat aku.
Aku menantapnya, dia sedang memejamkan mata. Dia tidak cantik, tidak pintar, tidak ramah, tidak lucu, tidak sempurna. Hal ini aku sadari bukan karena aku ingin putus, tapi memang seperti itu dari awal.
"Nanti barang-barang kamu, kamu ambil aja ya besok ke rumah atau kapan deh. Kalo mau besok, entar bilang aja sama Mama. Aku ga ada di rumah soalnya"
"Barang-barang aku?"
"Iya jaket kamu, lampu tidur dari kamu, headset kamu, semua-semuanya. Tadi pagi udah aku masukin dalam satu kotak kok, entar kamu ambil aja"
"Kenapa ga buat kamu aja?" Aku menatap sinis.
"Buat apa? Entar aku ga gunain, kamu kan bisa gunain itu semua jadi kenang-kenangan paling enggak kalo kamu kangen aku" dia tertawa.
Memang dia ga butuh? Sepertinya perpisahan ini bener-bener sulit buat dia. Dia mungkin benar-benar akan melupakan aku dan lama kelamaan akan membenciku.
"Yauda ya, aku mau pulang ah. Masih banyak tugas. Goodbye lover" dia mengambil tanganku menciumnya dan memelukku seperti biasa. Seperti biasa.
Dia berbisik "Bila cinta akan menemukan cinta, bila ini terakhir kita bertemu yakinlah aku selalu cinta"
Aku membalas pelukannya. Kenapa sekarang terasa berat? Berat aku katakan aku menyesal.
Bagaimana bila memang besok aku benar-benar tidak bisa melihatnya lagi.
Pelukanku semakin erat.
"Aku senang, kamu yang membuat aku bertahan dan kamu yang melepas aku. Rasanya kali ini aku tidak ada beban lagi"
Dia melepaskan pelukanku.
"Susah banget mau bilang ini, tapi thanks ya lover"
Aku menghela nafas, kata-kata yang paling dia benci adalah terima kasih atau sejenisnya. Bagi dia, tidak ada terima kasih yang bener-bener tulus. Itu hanya basa-basi belaka. Pikirannya yang aneh, salah satu alasan aku uring-uringan akhir-akhir ini.
"Bye" dia berbalik dan berjalan terus.
Bye. Kata yang kami berdua tau maksudnya. Kata yang kami berdua sama sekali tidak ingin ucapkan. Karena bagi kami "bye" benar-benar tidak akan bertemu lagi. Tidak akan ada cerita lagi. Benar-benar berakhir.
Bye. Kali ini aku makin terpuruk. Bagaimana bila besok benar-benar tidak ada yang akan membangunkan aku lagi? Bagaimana bila besok tidak akan ada lagi omelan panjang dari dia hanya karena aku melewatkan sarapan? Bagaimana bila besok tidak ada lagi ngambeknya yang manja mau makan-makan ini itu? Bagaimana bila besok tidak ada paksaan dari dia lagi untuk bilang "i love you too"? Besok sih masih tidak masalah, tapi bagaimana bila besoknya lagi, besoknya lagi, lagi, dan seterusnya. Apa hidup saya masih seperti biasa?
Aku duduk. Aku pejamkan mata sekuat-kuatnya.
"Aku tuh sayang sama kamu, kamu ga boleh tinggalin aku"
Aku masih terus menyetir "sayaaaaang" rengeknya mulai terdengar.
"Apa sih?"
"Kamu tuh ga boleh ninggalin aku, kalo kamu ninggalin aku, aku doain kamu kesamber petir"
"Terus aku takut?"
"Yaudah, kalo kamu ninggalin aku. Aku tinggalin kamu selamanya"
"Iya terserah"
Percakapan 2 tahun yang lalu. Bagaimana bila dia benar-benar meninggalkanku selamanya. Aku mulai resah. Resah sekali.
Mau kemana dia tadi? Pasti dia sedih sekali. Dia lagi kacau. Dia sakit hati. Dia pasti benar-benar sakit hati. My lover, hati-hati, jaga kesehatan, makan jangan lupa, baik-baik ya. Ingin sekali aku mengatakan itu padanya sekarang. Sekarang.
"Nanti kalo udah selesai tugas-tugas kamu, jangan lupa makan. Jaga kesehatan"
"Iyaa"
"Kalo kamu sakit kan nanti kamu juga yang susah"
"Iyaaaa"
"Kalo kamu mau kemana-mana bilang yaa, nanti ada apa-apa"
"Iyaaaaaaa" dengan segera aku matikan telpon itu. Percakapan itulah yang selalu terjadi setiap hari. Dan aku merindukannya sekarang.
Apa perlu aku menelponnya sekarang? Tapi bila aku telpon apakah dia akan masih peduli dengan aku?
Aku kembali mengingat pembicaraan ditelpon setiap hari kami itu. Sejahat itu yah aku. Aku kembali berusaha mengingat, mungkin aku tidak setiap hari mengatakan itu. Mungkin hanya belakangan minggu ini. Aku buka handphoneku. Aku baca pesan-pesan singkat kami. Dia mengirim pesan yang panjang-panjang, aku hanya membalas "oke" atau "iya" atau "entar aku telpon deh". Aku berpikir, bila ditelpon aku akan seperti itu. Tapi itu kan karena dia yang menyebalkan. Terlalu berlebihan atas segala hal. Aku kan tidak suka. Aku sudah cukup sabar dengannya, aku sudah menuruti semua keinginannya. Lantas bukan salahku.
"Sayang ayok kita main ayam jagoooo"
"Iya"
Selama bermain aku sering sekali ingin tertidur, dia berceloteh panjang. Sampai aku kalah.
Apakah selama 5 tahun ini aku bebar-benar menyayanginya?
Sepertinya iya, alasan apalagi yang dibutuhkan untuk bertahan dengan dia selain cinta. Apakah dia menyayangi aku?
Dia yaa seperti wanita pada umumnya memasakan aku ketika dia ada luang, walaupun masakannya sering kurang rasa, membuatkan aku benda-benda handmade yang tidak jelas gunanya apa, membelikan ini itu yang jelas bukan seleraku. Jadi apa istimewanya dia? Dia dan lima tahun kami tampaknya akan sangat mudah dilupakan.
Aku berdiri dari tempat dudukku. Hujan. Dimana dia sekarang? Dia kan tidak bisa apa-apa tanpa aku. Aku harus menjemputnya kesana-kesini. Mungkin bila tidak ada aku dia hanya seharian di rumah. Tapi, aku berpikir sebentar. Bukannya aku yang marah apabila ia pergi sendiri kemana-mana? Bukannya aku yang marah bila ia pergi tanpa aku?
Hujan ini membuat aku mengingatnya kembali. Terasa susah sekali sekarang. Perasaanku kembali kacau. Apa jadinya dia tanpaku? Dia sendiri, dia tidak punya teman berbagi, dia tidak bisa apa-apa. Bagaimana nanti dia?
Hujan mulai membuat sebagian tubuhku basah. Biasanya ada dia di sampingku yang kedinginan, bergetar, dan merapatkan diri padaku. Dan saat itu aku langsung melindunginya, karena dia membutuhkanku. Saat itu aku tidak lagi merasa hujan membuatku dingin, di otakku hanyalah bagaimana caranya dia tidak merasa kedinginan. Bagaimana caranya dia tidak susah? Bagaimana caranya dia selalu bahagia?
Aku tersentak, aku tahu kali ini. Aku merasa pertanyaan terputar. Sebelum denganku, apa jadinya aku tanpanya?
Apa jadinya aku tanpanya?
Bila tidak ada telpon darinya, mungkin aku bisa beraktivitas seperti biasa, tapi aku pasti tidak merasa dirindukan lagi, dikhawatirkan lagi. Bila tanpa rengekan darinya lagi, telingaku tentu tidak merasa panas lagi, tapi aku tidak akan merasa diharapkan lagi. Bila tidak ada cerita berulang darinya lagi, aku pasti tidak menggerutu dalam hati lagi, tapi aku tidak merasa dipercaya lagi. Aku mungkin akan biasa tanpa dia, tapi apa aku bisa tanpa dia?
Aku bergegas pergi, aku berlari menerobos hujan. Aku mengeluarkan kunci mobilku, aku ingin ke rumahnya. Sekarang aku tahu, aku juga membutuhkannya. Dia dan 5 tahun kami, tidak akan pernah bisa aku lupakan.
Aku jalankan mobilku.
Aku akan meminta hatinya lagi mungkin ini jahat, tapi aku tidak ingin menyesal seumur hidup. Bila cinta akan menemukan cinta. Yah aku mengerti.
Saat aku hampir setengah perjalanan, jantungku berpacu kencang. Kemacetan dimana-dimana. Hatiku sudah panas, tak sabar lagi aku ingin melihat dia. Kali ini aku benar-benar merindukannya. Dia harus memarahiku, karena ketika dia marah parasnya sangat cantik. Dia harus memukulku seperti biasa karena saat itu aku bisa melihat dia sayang padaku. Dia harus merengek, dia harus memaksaku minta maaf padanya. Dia harus memaksaku bilang "i love you" bukan hanya "too". Tiba-tiba rasa rindu itu semakin mencekam, semencekam kemacetan ini. Aku mencoba mencari tahu mengapa bisa terjadi kemacetan. Kecelakaan taksi.
Entah mengapa aku inginkeluar dari mobil. Menuju ke arah kecelakaan itu.
"Masih ada satu korban yang terjepit di dalam"
Banyak celotehan dari orang sekitar.
Aku hanya diam. Aku kembali ke mobilku. Memutar untuk menuju ke rumahnya. Tapi aku hanya membuat kemacetan semakin parah.
Hampir satu jam aku terjebak. Aku semakin marah. Biasanya dia ada disini dan bilang "sabar sayang bentar lagi juga jalan". Ah aku sangat merindukannya.
Akhirnya jalan kembali lancar. Aku berusaha secepat mungkin menuju rumahnya. Ada rasa yang sangat-sangat mencekam. Telponku berdering, bila dia aku berjanji akan sebaik mungkin dengannya. Ternyata mamanya, ada apa mungkin mamanya bingung mengapa anaknya tampak sangat sedih.
"Halo tante"
"Woi, ini aku" ternyata abangnya
"Kenapa bang?"
"Dia kecelakaan, mayatnya udah di rumah. Cepet ke sini ya"
Aku mencerna perkataan itu berulang kali.
Dia kecelakaan.
Mayatnya udah di rumah.
Berkali-kali aku cerna.
Dia kecelakaan.
Dia kecelakaan.
Mayatnya udah di rumah.
Mayatnya...
Aku terus mencerna.
Sampai sekarang.
Dia kecelakaan, mayatnya udah di rumah.
Sampai sekarang, setelah 20 tahun lamanya. Masih terus aku cerna.
Dia dan 5tahun kami tidak pernah terlupakan.
Bahkan setelah 20 tahun aku mecerna kata-kata itu, rasa rindu yang mencekam itu tidak pernah terbayar. Telpon setiap hari itu tidak pernah datang. Cerita berulang tidak terjadi lagi. Rengekannya, manjanya, dramanya tidak ada lagi.
Selama 20tahun aku selalu bertanya, mengapa aku lepaskan dia saat aku bahkan tidak bisa melepaskannya?
Dia dan segala keburukannya, siapa yang akan tahan dengannya.
Kecuali aku yang melepaskannya.
Aku dan segala kebodohanku, siapa yang akan bertahan demiku.
Kecuali dia yang aku lepaskan karena ketidaktahananku.
Siapa tahu hari ini hari terakhirmu, katakan padanya dia segalanya bila dia memang segalanya.
Karena cinta akan menemukan cinta.
Untuk anda, yang saya curi idenya. Terima kasih. Saya tidak ingin ada penyesalan.
Kalimat demi kalimat itu sudah aku persiapan dengan matang. Ketika aku ingin membuka mulut untuk mengatakan itu,
"Permainan ini konyol ya?" Tersenyum
Aku mengangguk setuju
"Kayaknya aku ga mau lagi deh suka sama main ayam jago ini, terlalu konyol. Tapi ini kan permainan waktu kita pertama kali ketemu ya? Jadi aku seneng. Tau gak eh aku udah cerita belom sih dengan kamu?"
Seperti biasa aku akan berkata "belom" dan dengan muka antusias akan mendengarkan ceritanya.
Sejujurnya ini meletihkan.
"Jadi, aku itu dari dulu ga pernah menang main ayam jago " sambil masih terus tersenyum
Dalam hati aku sudah menggerutu, mungkin sudah kesekian ribu kalinya dia cerita.
"Tapi waktu itu kan kamu nantangin aku kan, terus kamu kalah deh..."
Dan aku sudah hapal selanjutnya dia ingin mengatakan apa "terus aku nantangin temen-temen aku deh dan aku menang"
"Aku heran sampe sekarang"
Ternyata dugaanku salah.
"Kenapa kebohongan kamu dari awal kita ketemu sampe sekarang bisa buat aku ngerasa everything? Padahal itu sederhana kan?"
"Kebohongan yang mana?" Aku bingung arah pembicaraan dia
"Itu yang kamu ngalah sama aku waktu main ayam jago" masih tersenyum lebar
Aku hanya tertunduk
"Aku udah tau kok kalo kamu bohong, kamu cuma ngalah sama aku"
"Maaf ya" aku tidak tahu harus berkata apa, hanya itu yang bisa aku katakan. Aku menatap dia, dia masih tersenyum. Kenapa jadi begini? Dia seperti tahu bila aku akan melepasnya. Tapi mengapa sekarang terasa berat.
"Ga perlu maaf kali sayang, gara-gara kebohongan kamu aku jadi nemuin semangat baru dalam segala hal. Yaah, kayak tadi aku bilang aku ngerasa everythingnya kamu" kali ini dia menatapku lebih dalam "dan aku tahu , waktu kamu udah ga bohong lagi. Itu berarti aku bukan everything lagi"
Aku hanya menatapnya, matanya mulai berlinang. Air mata itu akan mengalir dan dia akan merengek, memaksaku untuk memaafkannya lagi dan aku sangat benci itu. Aku alihkan pandangan.
"Iya aku mau kita udahan aja, kita bener-bener ga cocok" akhirnya aku mengatakan itu.
Dia diam, pasti menangis.
Aku sudah letih melihat dia menangis,
Satu menit, dia masih diam. Dasar wanita! Aku mulai memaki dalam hati, maunya apa sih? Apa harus aku meninggalkannya?
Aku memberanikan diri melihatnya, dia masih menatapku. Bukan tatapan membunuh biasanya, atau tatapan mengiba ketika ia sudah letih menangis. Dia menatapku dengan tatapan yang sangat lembut, diselusurinya tubuhku setiap inchinya dengan tatapannya. Aku salah tingkah.
Dia tertawa pelan "Ga apa apa dong kalo aku ngeliatin kamu gini, kan terakhir kalinya"
Tangannya menarik tanganku pelan "Aku tau kita ga cocok. Ga cocok banger malah."
Dia terus mempermainkan tanganku, digengamnya. Aku menariknya dengan pelan. Biasanya dia akan menarik lagi tanganku dan berkata "kamu ga sayang lagi sama aku". Tapi sekarang tidak, dia malah tersenyum. Ikhlas sekali.
"Aku cuma mau nanya, kamu yakin?"
Dia tetap menatapku. Aku melihatnya sekilas. Hubungan kami sudah berumur 5tahun. Dia sudah tahu siapa aku yang sebenarnya dan aku pun begitu. Dia selalu mengatakan bahwa aku everythingnya, dan sebenarnya aku juga begitu. Kami saling mencintai, awalnya semuanya terasa cukup. Apalagi yang dibutuhkan dalam sebuah hubungan selain keduanya saling mencintai. Tidak ada . Tapi ternyata itu semua tidak cukup. Cinta kami, mungkin cinta aku saja tidak begitu kuat. Pertengkaran yang selalu terjadi membuat aku sudah letih dengannya. Hubungan kami sudah tidak sehat. Akhir-akhir ini aku bertanya-tanya kapan kami terakhir bahagia? Kapan kami terakhir tertawa lepas? Rasanya sudah lama sekali. Aku tahu berpisah bukan cara yang tepat, tapi aku masih muda. Aku bisa mencari yang lain. Nanti bila aku merasa dia yang paling tepat aku akan kembali padanya.
"Yakin" akhirnya aku menjawab.
"Yasudah kalau begitu, kamu yakin aku juga yakin kok" dia masih tersenyum.
"Aku tau kok semuanya bakal terjadi, ga ada yang sifatnya selamanya. Aku ga mau jadi beban kamu"
Kami terdiam. Dia tidak menangis. Sama sekali, bahkan tersenyum lepas.
"Berarti kita ga bisa dong punya mobil yang cuma bisa berdua doang , biar ga ada yang nebeng" dia tertawa "kita juga ga bisa ya namain anak kita dengan nama-nama pemain klub sepak bola favorit kamu" Dia tersenyum. Aku terdiam. Penyesalan mulai datang.
"Satu lagi, berarti 'selamanya' kita gagal dong" dia tetap tertawa. Seolah-olah itu semua lucu.
"Aku ga suka nih suasana gini dan ngomong gini kayak anak muda aja haha" dia tertawa lepas.
Aku masih diam. Aku tahu dia sangat sakit hati. Tawanya itu lepas tapi menyakitkan. Aku tahu dia sangat menyayangiku, aku tahu dia sangat membutuhkan aku. Yang aku tidak tahu, bagaimana dia tanpa aku nanti? Apakah dia akan baik-baik saja? Atau dia akan terus mengejarku? Atau mungkin dia akan langsung menemukan pria yang lebih baik daripada aku? Aku sibuk dengan pikiranku. Semakin aku berpikir, hatiku semakin perih. Mana mungkin ada pria yang bisa lebih baik daripadaku untuknya. Mana ada pria yang sabar menghadapi semua rengekannya, yang mendengarkan semua ceritanya yang tanpa sadar terus dia ulang, yang menemaninya bermain ayam jago yang konyol itu, yang menemaninya tidur via telepon bila dia takut setelah menonton film horor, mana ada pria yang bisa sehebat aku.
Aku menantapnya, dia sedang memejamkan mata. Dia tidak cantik, tidak pintar, tidak ramah, tidak lucu, tidak sempurna. Hal ini aku sadari bukan karena aku ingin putus, tapi memang seperti itu dari awal.
"Nanti barang-barang kamu, kamu ambil aja ya besok ke rumah atau kapan deh. Kalo mau besok, entar bilang aja sama Mama. Aku ga ada di rumah soalnya"
"Barang-barang aku?"
"Iya jaket kamu, lampu tidur dari kamu, headset kamu, semua-semuanya. Tadi pagi udah aku masukin dalam satu kotak kok, entar kamu ambil aja"
"Kenapa ga buat kamu aja?" Aku menatap sinis.
"Buat apa? Entar aku ga gunain, kamu kan bisa gunain itu semua jadi kenang-kenangan paling enggak kalo kamu kangen aku" dia tertawa.
Memang dia ga butuh? Sepertinya perpisahan ini bener-bener sulit buat dia. Dia mungkin benar-benar akan melupakan aku dan lama kelamaan akan membenciku.
"Yauda ya, aku mau pulang ah. Masih banyak tugas. Goodbye lover" dia mengambil tanganku menciumnya dan memelukku seperti biasa. Seperti biasa.
Dia berbisik "Bila cinta akan menemukan cinta, bila ini terakhir kita bertemu yakinlah aku selalu cinta"
Aku membalas pelukannya. Kenapa sekarang terasa berat? Berat aku katakan aku menyesal.
Bagaimana bila memang besok aku benar-benar tidak bisa melihatnya lagi.
Pelukanku semakin erat.
"Aku senang, kamu yang membuat aku bertahan dan kamu yang melepas aku. Rasanya kali ini aku tidak ada beban lagi"
Dia melepaskan pelukanku.
"Susah banget mau bilang ini, tapi thanks ya lover"
Aku menghela nafas, kata-kata yang paling dia benci adalah terima kasih atau sejenisnya. Bagi dia, tidak ada terima kasih yang bener-bener tulus. Itu hanya basa-basi belaka. Pikirannya yang aneh, salah satu alasan aku uring-uringan akhir-akhir ini.
"Bye" dia berbalik dan berjalan terus.
Bye. Kata yang kami berdua tau maksudnya. Kata yang kami berdua sama sekali tidak ingin ucapkan. Karena bagi kami "bye" benar-benar tidak akan bertemu lagi. Tidak akan ada cerita lagi. Benar-benar berakhir.
Bye. Kali ini aku makin terpuruk. Bagaimana bila besok benar-benar tidak ada yang akan membangunkan aku lagi? Bagaimana bila besok tidak akan ada lagi omelan panjang dari dia hanya karena aku melewatkan sarapan? Bagaimana bila besok tidak ada lagi ngambeknya yang manja mau makan-makan ini itu? Bagaimana bila besok tidak ada paksaan dari dia lagi untuk bilang "i love you too"? Besok sih masih tidak masalah, tapi bagaimana bila besoknya lagi, besoknya lagi, lagi, dan seterusnya. Apa hidup saya masih seperti biasa?
Aku duduk. Aku pejamkan mata sekuat-kuatnya.
"Aku tuh sayang sama kamu, kamu ga boleh tinggalin aku"
Aku masih terus menyetir "sayaaaaang" rengeknya mulai terdengar.
"Apa sih?"
"Kamu tuh ga boleh ninggalin aku, kalo kamu ninggalin aku, aku doain kamu kesamber petir"
"Terus aku takut?"
"Yaudah, kalo kamu ninggalin aku. Aku tinggalin kamu selamanya"
"Iya terserah"
Percakapan 2 tahun yang lalu. Bagaimana bila dia benar-benar meninggalkanku selamanya. Aku mulai resah. Resah sekali.
Mau kemana dia tadi? Pasti dia sedih sekali. Dia lagi kacau. Dia sakit hati. Dia pasti benar-benar sakit hati. My lover, hati-hati, jaga kesehatan, makan jangan lupa, baik-baik ya. Ingin sekali aku mengatakan itu padanya sekarang. Sekarang.
"Nanti kalo udah selesai tugas-tugas kamu, jangan lupa makan. Jaga kesehatan"
"Iyaa"
"Kalo kamu sakit kan nanti kamu juga yang susah"
"Iyaaaa"
"Kalo kamu mau kemana-mana bilang yaa, nanti ada apa-apa"
"Iyaaaaaaa" dengan segera aku matikan telpon itu. Percakapan itulah yang selalu terjadi setiap hari. Dan aku merindukannya sekarang.
Apa perlu aku menelponnya sekarang? Tapi bila aku telpon apakah dia akan masih peduli dengan aku?
Aku kembali mengingat pembicaraan ditelpon setiap hari kami itu. Sejahat itu yah aku. Aku kembali berusaha mengingat, mungkin aku tidak setiap hari mengatakan itu. Mungkin hanya belakangan minggu ini. Aku buka handphoneku. Aku baca pesan-pesan singkat kami. Dia mengirim pesan yang panjang-panjang, aku hanya membalas "oke" atau "iya" atau "entar aku telpon deh". Aku berpikir, bila ditelpon aku akan seperti itu. Tapi itu kan karena dia yang menyebalkan. Terlalu berlebihan atas segala hal. Aku kan tidak suka. Aku sudah cukup sabar dengannya, aku sudah menuruti semua keinginannya. Lantas bukan salahku.
"Sayang ayok kita main ayam jagoooo"
"Iya"
Selama bermain aku sering sekali ingin tertidur, dia berceloteh panjang. Sampai aku kalah.
Apakah selama 5 tahun ini aku bebar-benar menyayanginya?
Sepertinya iya, alasan apalagi yang dibutuhkan untuk bertahan dengan dia selain cinta. Apakah dia menyayangi aku?
Dia yaa seperti wanita pada umumnya memasakan aku ketika dia ada luang, walaupun masakannya sering kurang rasa, membuatkan aku benda-benda handmade yang tidak jelas gunanya apa, membelikan ini itu yang jelas bukan seleraku. Jadi apa istimewanya dia? Dia dan lima tahun kami tampaknya akan sangat mudah dilupakan.
Aku berdiri dari tempat dudukku. Hujan. Dimana dia sekarang? Dia kan tidak bisa apa-apa tanpa aku. Aku harus menjemputnya kesana-kesini. Mungkin bila tidak ada aku dia hanya seharian di rumah. Tapi, aku berpikir sebentar. Bukannya aku yang marah apabila ia pergi sendiri kemana-mana? Bukannya aku yang marah bila ia pergi tanpa aku?
Hujan ini membuat aku mengingatnya kembali. Terasa susah sekali sekarang. Perasaanku kembali kacau. Apa jadinya dia tanpaku? Dia sendiri, dia tidak punya teman berbagi, dia tidak bisa apa-apa. Bagaimana nanti dia?
Hujan mulai membuat sebagian tubuhku basah. Biasanya ada dia di sampingku yang kedinginan, bergetar, dan merapatkan diri padaku. Dan saat itu aku langsung melindunginya, karena dia membutuhkanku. Saat itu aku tidak lagi merasa hujan membuatku dingin, di otakku hanyalah bagaimana caranya dia tidak merasa kedinginan. Bagaimana caranya dia tidak susah? Bagaimana caranya dia selalu bahagia?
Aku tersentak, aku tahu kali ini. Aku merasa pertanyaan terputar. Sebelum denganku, apa jadinya aku tanpanya?
Apa jadinya aku tanpanya?
Bila tidak ada telpon darinya, mungkin aku bisa beraktivitas seperti biasa, tapi aku pasti tidak merasa dirindukan lagi, dikhawatirkan lagi. Bila tanpa rengekan darinya lagi, telingaku tentu tidak merasa panas lagi, tapi aku tidak akan merasa diharapkan lagi. Bila tidak ada cerita berulang darinya lagi, aku pasti tidak menggerutu dalam hati lagi, tapi aku tidak merasa dipercaya lagi. Aku mungkin akan biasa tanpa dia, tapi apa aku bisa tanpa dia?
Aku bergegas pergi, aku berlari menerobos hujan. Aku mengeluarkan kunci mobilku, aku ingin ke rumahnya. Sekarang aku tahu, aku juga membutuhkannya. Dia dan 5 tahun kami, tidak akan pernah bisa aku lupakan.
Aku jalankan mobilku.
Aku akan meminta hatinya lagi mungkin ini jahat, tapi aku tidak ingin menyesal seumur hidup. Bila cinta akan menemukan cinta. Yah aku mengerti.
Saat aku hampir setengah perjalanan, jantungku berpacu kencang. Kemacetan dimana-dimana. Hatiku sudah panas, tak sabar lagi aku ingin melihat dia. Kali ini aku benar-benar merindukannya. Dia harus memarahiku, karena ketika dia marah parasnya sangat cantik. Dia harus memukulku seperti biasa karena saat itu aku bisa melihat dia sayang padaku. Dia harus merengek, dia harus memaksaku minta maaf padanya. Dia harus memaksaku bilang "i love you" bukan hanya "too". Tiba-tiba rasa rindu itu semakin mencekam, semencekam kemacetan ini. Aku mencoba mencari tahu mengapa bisa terjadi kemacetan. Kecelakaan taksi.
Entah mengapa aku inginkeluar dari mobil. Menuju ke arah kecelakaan itu.
"Masih ada satu korban yang terjepit di dalam"
Banyak celotehan dari orang sekitar.
Aku hanya diam. Aku kembali ke mobilku. Memutar untuk menuju ke rumahnya. Tapi aku hanya membuat kemacetan semakin parah.
Hampir satu jam aku terjebak. Aku semakin marah. Biasanya dia ada disini dan bilang "sabar sayang bentar lagi juga jalan". Ah aku sangat merindukannya.
Akhirnya jalan kembali lancar. Aku berusaha secepat mungkin menuju rumahnya. Ada rasa yang sangat-sangat mencekam. Telponku berdering, bila dia aku berjanji akan sebaik mungkin dengannya. Ternyata mamanya, ada apa mungkin mamanya bingung mengapa anaknya tampak sangat sedih.
"Halo tante"
"Woi, ini aku" ternyata abangnya
"Kenapa bang?"
"Dia kecelakaan, mayatnya udah di rumah. Cepet ke sini ya"
Aku mencerna perkataan itu berulang kali.
Dia kecelakaan.
Mayatnya udah di rumah.
Berkali-kali aku cerna.
Dia kecelakaan.
Dia kecelakaan.
Mayatnya udah di rumah.
Mayatnya...
Aku terus mencerna.
Sampai sekarang.
Dia kecelakaan, mayatnya udah di rumah.
Sampai sekarang, setelah 20 tahun lamanya. Masih terus aku cerna.
Dia dan 5tahun kami tidak pernah terlupakan.
Bahkan setelah 20 tahun aku mecerna kata-kata itu, rasa rindu yang mencekam itu tidak pernah terbayar. Telpon setiap hari itu tidak pernah datang. Cerita berulang tidak terjadi lagi. Rengekannya, manjanya, dramanya tidak ada lagi.
Selama 20tahun aku selalu bertanya, mengapa aku lepaskan dia saat aku bahkan tidak bisa melepaskannya?
Dia dan segala keburukannya, siapa yang akan tahan dengannya.
Kecuali aku yang melepaskannya.
Aku dan segala kebodohanku, siapa yang akan bertahan demiku.
Kecuali dia yang aku lepaskan karena ketidaktahananku.
Siapa tahu hari ini hari terakhirmu, katakan padanya dia segalanya bila dia memang segalanya.
Karena cinta akan menemukan cinta.
Untuk anda, yang saya curi idenya. Terima kasih. Saya tidak ingin ada penyesalan.


0 komentar