Bukan Cerita Akhir Tahun

06.19

Ini cerita tentang Bio-Arpa.

Bila kalian masih ingat, kalian pasti mengeluh.
Bila kalian sudah letih, sebenarnya penulis lebih letih. Tapi mau apa lagi…
Ini hanya cerita Bio-Arpa, yang dahulu dikembalikan pada pembaca.
Kemarin penulis bertemu Bio, matanya sembab.
Lusa kemarin penulis bertemu Arpa, entahlah dia hanya bilang “Sulit untuk dilanjutkan”
**
Ini bukan akhir tahun
Di Bulan Ketiga setelah awal tahun,
“Arpa…”
Bio tidak lagi memanggil ‘abang’
Dan Arpa tidak lagi memanggilnya Ola, menurutnya Ola terlalu manis untuk sosok istrinya.
“Apalagi sih?” Arpa seperti biasa datang dengan muka tidak senang
“Saya udah cantik belom?”
“Sudah 1 jam kau berdandan, kau masih sama saja” berbalik badan dan meninggalkan Bio.
**
Ini juga bukan cerita akhir tahun
Kita berada pada awal tahun
Arpa bukan kasar, dia hanya jujur. Arpa bukannya berniat menyakitkan hati Bio, dia hanya mau Bio tau sebenarnya.
Berkelahi jangan ditanya seberapa seringnya. Sampai Bio tak pernah ada senyumnya, dan Arpa tak pernah tidak pusing.
Bio bukannya cenggeng, dia hanya melampiaskan rasa kecewanya. Bio bukannya berlebihan, dia hanya tidak tau harus bagaimana.
Arpa juga tidak tau harus bagaimana.
**
Berjalan hari, semakin lama, semakin berbeda.
Mereka memberanikan untuk berjalan pada hal yang lain.
“Saya tidak bisa berhenti tertawa, saya takut nanti malam menangis” Arpa masih menahan gelak tawa.
“Saya sih semalam sudah menangis”  Bio juga ikut tertawa.
Mereka sibuk tertawa.
Ah mereka, bila bahagia dunia bagai milik mereka, bila bersedih menginjak dunia pun rasanya enggan.
**
“Hai kekasih, udah lama ya nunggunya?” akhirnya Bio masuk mobil mereka.
Arpa hanya diam.
Bio bersandar pada kursinya. Ah Arpa bukannya saya sengaja lama membuatmu menunggu. Hanya saya perlu kembali berhias karena ya lagi..lagi saya menangis ya lagi..lagi karena kau.
“Kenapa? Menangis lagi tadi?”
Diam
“Hei”
Diam
“Yauda kita ga usah pergi” langsung memutar stirnya
“Iya”
**
“Kenapa Bio nangis semalem?”
Bio berhenti tertawa.
Arpa tersenyum. Manis, bukan sinis.
“Kenapa Bio nangis semalem?”
Menoleh ke arah Bio yang salah tingkah. Ah rasanya sudah lama Bio tak melihat senyum Arpa. Meski mereka tinggal bertahun-tahun bersama. Tapi mereka lebih sering berkelahi daripada tersenyum.
**
Masih berada di awal tahun. Jangankan panggilan sayang, dipanggil nama saja sudah cukup.
“Lain kali kalo mau pergi bilang!”
“Buat apa?” Arpa setengah menoleh ke Bio
“Biar saya bisa kunci pintu”
“Buat apa. Kita kan sudah punya masing-masing kunci”
“Bukan begitu..”
“Apalagi?”
Bio hanya diam. Awalnya dia sadar Arpa bukanlah tipenya. Awalnya Bio sadar bagaimana agar Arpa menjadi lebih hangat. Ia tidak perlu menjadi api-api. Arpa sudah sering terbakar emosi, yang perlu dia lakukan adalah lebih dingin agar Arpa kembali ke suhu awal.
**
Akhir-akhir ini pasanganku semakin berubah
Bio kembali membaca update-annya beberapa jam yang lalu, dan tersenyum melihat respon semangat dari teman-temannya.
“Lagi apa?” Arpa datang tepat di samping Bio.
“Tidak sedang apa-apa” Bio segera menekan tombol lock di handphonenya.
**
“Kalo kau memang tidak ingin pergi dari awal bilang, saya tidak perlu menunggu selama ini!”
Arpa keluar dari mobil, membanting pintu mobil. Dan dari mobil Bio bisa mendengar suara bantingan pintu rumah.
Seperti mendengar petir.
Bukan karena bantingan pintu kamar. Apalagi bantingan pintu mobil.
Tapi teriakan Arpa tadi.
Arpa memang sinis, memang pedas sekali jika berbicara. Tapi tidak pernah berteriak pada Bio. Pertama sekali selama bertahun mereka menjalin hubungan, Arpa berteriak pada Bio.
**
Bukan cerita akhir tahun tapi masih tentang Bio-Arpa.
“Bio?”
Bio hanya menoleh pelan ke arah Arpa.
“Umur berapa kau sekarang?”
“Masak kau tak tahu”
“Berapa?” tegas Arpa lagi
“27 tahun”
“Kau tidak terlalu muda untuk update di media social: Akhir-akhir ini pasanganku semakin berubah”
Bio terbelak. Sejak kapan Arpa punya media social.
**
Penulis memang jauh lebih muda dari Bio-Arpa.
Herannya Bio selalu datang dan mengeluhkan tentang Arpa padanya.  Saat ini dihadapan penulis ada Bio. Seperti biasa sedang menangis.
Bila Bio menangis tidak bersuara, tapi siapa pun yang melihatnya akan tahu dia sangat sakit hati.
**
Bila Bio menangis tidak bersuara, tapi siapa pun yang melihatnya akan tahu dia sangat sakit hati.
Ini cerita di Bulan ketiga setelah awal tahun.
Baru kali ini Arpa melihat Bio sesakit hati itu.
Arpa pergi melihatnya ke garasi, Bio masih di mobil. Matanya menatap ke depan dengan air mata yang mengalir deras. Tidak ada ekspresi apa pun. Hanya air mata, tapi bukan kah itu lebih menyakitkan?
Ah Bio, andai saya cukup tidak egois untuk memelukmu saat ini.
Ah Bio, andai saya tidak berteriak padamu tadi.
Ah Bio, andai kau tidak berbohong dengan saya. Pasti kita sudah merayakan 5 tahun kita bersama.
Ah Bio, andai kau tidak saya nikahi. Mungkin air mata itu tidak pernah ada.
**
“Kadang-kadang saya berpikir bila saya tidak menikahimu mungkin airmatamu tidak terlalu banyak keluar?”
“Ya mungkin. Tapi tidak mungkin juga tawa saya selepas ini”
Saat itu Bio memeluk Arpa, pelukan setelah sekian lama. Pelukan pertama dari Bio. Pelukan pertama setelah Arpa berteriak padanya. Pelukan pertama setelah dia berbohong pada Arpa.
**
Penulis melihat Bio.
Saat itu masih keadaan yang sama, menangis. Penulis masih berada di belakang note booknya. Dan Bio masih berada di belakang kesedihannya.
“Apa salahnya dengan berbagi?” Penulis mengernyitkan dahinya ketika kalimat pertama keluar dari Bio.
Ya hari ini adalah kemarin sebelum penulis memutuskan untuk kembali menulis kisah mereka. Awalnya penulis sangat letih untuk melanjutkan, tapi setelah mendengar pertanyaan Bio. Penulis tahu kemana kisah ini akan mengalir.
**
Lusa sebelum hari itu,
Penulis bertemu Arpa. Seperti biasa Arpa terlalu suram untuk diajak berbicara. Arpa hanya diam dan menghisap rokoknya dalam-dalam.
“Dia sering mengecewakan saya, tapi tidak dengan berbohong. Seharusnya dia tahu saya selalu jujur sepahit apapun itu”
Entah kebohongan apa yang dibicarakan Arpa. Penulis masih diam. Masih belum tertarik dengan kisah mereka.
“Bukannya Bio melarangmu merokok?”
“Ya, dia selalu melarangku ini itu. Terlalu cerewet.”
“Lantas sekarang?”
“Dia tidak tahu”
“Bukannya itu juga kebohongan” Arpa melihat penulis tajam. Membuang rokoknya dan meninggalkan penulis. Ya, hanya itu cara mengusir Arpa secara halus dengan menyakiti hatinya.
**
Penulis menatap Bio.
“Bila kau ingin meninggalkan Arpa, cara mengusirnya secara halus hanya satu dengan menyakiti hatinya”
Bio menggeleng keres. Kali ini tangisnya bersuara sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ternyata bila tangis Bio bersuara, bukan hanya semua orang tahu bila ia sedang sakit hati. Tapi hati pendengar juga ikut tersayat.
Memang benar hal yang paling menyakitkan adalah ketika kita tidak tahu harus berbagi rasa bahagia dengan siapa.
**
Ini bukan cerita akhir tahun, tepatnya di awal tahun.
Tapi Bio tidak bisa tidak menjadi api, jika Arpa selalu menyulutnya.
“Apa yang kau tutupi?” Arpa tidak pernah berbuat kasar pada Bio. Pembaca mungkin merasa Arpa adalah sosok yang sangat kasar, tapi tidak dengan fisik.
Bio berusaha menutupi apa yang sedang ia lakukan dengan segera tutup laptopnya.
“Hei, kau dengar tidak bila keluar rumah bilang dahulu!” Bio merasa salah tingkah, ia segera memunggungi Arpa.
“Hei, kau dengar tidak. Apa yang kau tutupi?”
Sekali lagi Arpa tidak pernah berbuat kasar. Kalimat itu sangat lembut ia ucapkan, tidak dengan tatapan membunuh. Lembut sekali tepat di telinga Bio.
Ya, perlu ditekankan sekali lagi Arpa tidak pernah berbuat kasar, hanya Bio yang terlalu lemah. Tangan Arpa segera membuka laptop yang setengah tertutup itu.
**
Hari itu di bulan ketiga dari awal tahun.
Hari itu esoknya anniversary ke lima Bio Arpa.
Hari itu Arpa pulang lebih cepat dari biasanya.
Hari itu Arpa di depan laptop Bio berusaha keras mencari tahu apa yang disukai Bio.
Hari itu entah setan apa yang merasuki Arpa, ia ingin berusaha romantis di hari jadinya besok.
Tepat setelah Arpa membuka media social Bio, saat itu juga ada notifikasi dari salah satu teman Bio atas update-an Bio.
Tepat setelah Arpa tertawa saat melihat apa yang Bio update: Akhir-akhir ini pasanganku semakin berubah
Tepat setelah itu Arpa berbisik pelan “Biola-ku besok kau akan mengetahui Harpa yang sesungguhnya” dan segera membooking restaurant dan memesan beberapa kado untuk besok.
Tepat setelah itu email bersubject “Apa Salahnya dengan Berbagi?” masuk pada inbox Bio.
Tepat setelah itu Arpa menyesali apa yang dilakukannya saat ini untuk Biola-nya yang selalu mengecewakannya.
**
Penulis menunduk pasrah.
“Kenapa harus ‘Apa Salahnya dengan Berbagi?’ kau tetap release?”
Entahlah siapa yang salah Bio yang terlalu pembangkang atau Arpa yang terlalu penuntut. Atau mereka berdua yang terlalu…
“Egois. Kalian berdua sama-sama egois”
**
“Egois. Kalian berdua sama-sama egois”
“Jadi kau menyuruhku ke sini hanya untuk berkata seperti itu? Kau menghabiskan waktuku, istriku pergi entah kemana sekarang. Aku kira kau menemukannya, ternyata hanya mengatakan hal yang tak berguna”
“Untuk apa mengkhawatirkan istri yang selalu mengecewakanmu?” Pandangan mata penulis beralih dari notebooknya ke mata Arpa yang kalut.
**
“Pasti kau bingung mengapa saya tahu update-anmu di media social”
Bio merasakan aura yang semakin mencekam. Suara Arpa mulai memelan.
“Saya tahu semua tentang kau, Bio.” Arpa berjalan menuju box Bio. Bio menutup mulutnya, dia tidak menyangka Arpa tahu lebih cepat dan diluar dugaannya.
“Termasuk dengan ini” Arpa melemparkan buku berjudul ‘Apa Salahnya dengan Berbagi?’
“Kau tidak perlu merelease buku ini hanya untuk mendapatkan jawaban dari judulnya. Kau hanya perlu datang kepadaku dan tidak perlu berpikir panjang…jawabanku adalah salah”
Arpa keluar dari kamar.
Malam itu Arpa tidak pernah masuk ke kamar lagi.
Malam itu Bio menangis kaku di ujung tempat tidur.
Hingga besok paginya Arpa datang, mencium pipinya dan berkata “Happy Anniversary”
**
“Saya sudah bilang berkali-kali, kisah kita tidak untuk konsumsi publik”
Arpa menutup kembali laptop Bio. Dia tertunduk pasrah.
“Saya mendukung pekerjaanmu sebagai penulis, tapi jangan tentang kisah kita.”
“Ini tidak akan saya release. Percayalah. Saya hanya ingin menulis sebagai kenang-kenangan”
Tapi itu yang saya lebih tidak suka, seolah saya akan segera menjadi kenangan untukmu. Bukan kalimat itu yang terucap dari Arpa melainkan hanya satu kata: “Janji?”
Bio membalasnya dengan anggukan pasti.
Dan janji itu lah, penjamin Arpa di setiap harinya bahwa Bio tidak akan menjadikannya sebagai kenangan.
**
Penulis membaca ‘Apa Salahnya dengan Berbagi?’ sekilas. Yah, bila ia menjadi Bio pertanyaan yang sama akan terpikir ‘Apa Salahnya dengan Berbagi?’ jika ia memiliki suami seperti yang diceritakan Bio pada bukunya.
Entahlah, buku ini hanya fiksi belaka atau memang ternyata Arpa seperti ini.
Digambarkan Arpa yang memang cuek dan sinis, tapi disetiap cerita selalu ada cinta yang mengudara di antara mereka. Ya, tapi memang itulah cinta. Berani menerima masa lalu dan memaafkan kesalahan setiap saat untuk bersatu. Cinta dan bodoh berada pada tempat yang punya proporsi sama dan dibatasi dengan seutas rambut. Jika rambut itu putus, cinta dan bodoh bercampur menjadi satu rasa. Rasa yang melibatkan otak dan hati lebih dalam. Rasa yang membuat logika mendukung perasaan. Ya rasa benci.
Penulis membuka lembar terakhir buku itu.
Dan penulis segera menekan nomor handphone Arpa, ia tahu tugasnya sekarang adalah menjaga agar seutas rambut itu tidak putus.
**
Arpa berlari mencapai pintu rumahnya. Jika lelaki normal pada umumnya akan merangkak ke arah istrinya untuk meminta maaf. Tapi badan Arpa terlalu kaku untuk melakukannya.
Arpa menemukan Bio sedang menonton televisi di rumah mereka.
Ternyata setelah lima tahun pernikahan mereka, ia masih tidak tahu apa-apa tentang Bio.
Bio tersenyum melihatnya “Maaf ya tadi saya keluar tanpa memberitahu”
Begitulah mereka, berkelahi setiap saat dan diselesaikan dangan menganggap itu tidak pernah terjadi. Mungkin itu salah satu cara mereka bertahan.
Arpa duduk di sebelah Bio.
“Ajarin pakai social media dong” Bio melirik Arpa sekilas dan terkikih pelan.
**
“Apa alasan kau tidak suka dengan releasenya buku ini?”
“Banyak” Jawab Arpa cepat
“Saya berikan beberapa alasan dan kau hanya perlu mengangguk apakah itu alasan kau juga”
Arpa semakin kesal dengan penulis.
“Pertama, kau tidak suka cerita kau menjadi konsumsi public”
“Benar itu alasan utama”
“Kau hanya perlu mengangguk. Kedua, Kau tidak mau disamakan dengan tokoh fiksi Bio lainnya”
Arpa bingung. Mungkin itu sebenarnya alasan utama. Arpa mengangguk pelan.
“Jika kau setuju dengan alasan kedua maka benar kata saya tadi, kalian sama-sama egois. Ingin selalu memiliki dan mengikat satu sama lain tapi tidak mengupayakan mengikuti keinginan masing-masing pasangan”
“Arpa, kedua alasan tersebut terjawab dengan alasan Bio membuat buku ini”
“Sudah kuduga, kau selalu berada dipihak Bio.”
“Bukan begitu baca dulu bukunya”
“Kau tahu kan saya tak suka baca”
“Ya, hampir keseluruhan buku ini berisi konflik kalian yang diawali dengan emosi kekanakan kalian dan diakhiri dengan kedewasaan cinta kalian. Semua pembaca akan terlarut dan menginginkan suami sepertimu.”
Arpa terperanjat “Jadi buku ini bukan daftar kejelekanku?”
“Sudah saya bilang baca dulu, paling tidak baca halaman terakhirnya”
**
“Ya mungkin. Tapi tidak mungkin juga tawa saya selepas ini”
Malam itu mereka kembali seperti biasa, lima tahun pernikahan mereka dirayakan di atas sebuah sofa dengan penuh tawa dan tentunya perkelahian kecil. Bukan Biola dan Harpa jika tidak ada perkelahian.
Pembaca jangan berharap ada adegan mesra di sana. Mereka sibuk berdebat, mulai dari warna, tata letak, tempat tidur yang dipilih, jenis dekorasi yang dipilih untuk kamar calon anak mereka.
“Saya mulai capek kau selalu membaut saya kesal” Akhir perdebatan mereka, Bio pergi meninggalkan Arpa menuju ke kamar mereka.
Arpa berlari dengan membawa ‘Apa Salahnya dengan Berbagi?’
Seraya berteriak, Arpa membacakan halaman terakhir di buku itu.
“Untuk Suamiku, Harpa.
Terlalu sulit untuk membuatmu menjadi tokoh fiksi, karena seindah apapun kata yang kurangkai, kau tetap lebih indah…”
“Harpaaa!!!”Teriak Bio sambil mengejar Arpa. Arpa sambil berlari terus membacakan halaman buku itu.
“Buku ini untuk lima tahun kita dan untuk calon anak pertama kita” Kalimat terakhir diteriakan Arpa, saat itu dia tidak bisa lagi melanjutkan bacaanya karena Bio sudah siap untuk melumpuhkannya dengan gelitikan maut Bio.
**
Baru kali ini penulis merasa lega ketika menulis kisah ini.
Entahlah apakah Arpa bisa lebih lembut atau apakah Bio bisa lebih dewasa nantinya?
Tidak ada yang tahu pastinya.
Tapi yang bisa penulis pastikan, mereka akan terus bersama.
**
Cerita ini telah tertunda dua tahun lamanya, walau kemampuan menulis sudah mulai menurun. Tidak ada yang salah dengan memulai kembali.
Cerita ini bukan untuk seseorang, untuk diri saya sendiri. Saya butuh waktu untuk kembali ke dunia saya, dan waktu inilah saya kembali.


You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images